SYAIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AT-TIJANI
Peletak Dasar Tarekat Tijaniyah
Syekh
Ahmad al-Tijani (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui
ajaran thariqat yang dikembangkannya yakni Thariqat Tijaniyah. Untuk mengetahui
kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, Penulis menelusurinya melalui Kitab-kitab yang
memuat kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani terutama kitab-kitab yang di
tulis Khalifah Syekh Ahmad al-Tijani diantaranya kitab Jawahir al-Ma`ani
(Mutiara-mutiara Ilmu). tulisan Syekh Ali Harazim.
Dalam kitab-kitab yang menulis kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-jazair. Mengenai tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Dalam kitab-kitab yang menulis kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-jazair. Mengenai tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Nama
al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar
Tilimsan, Aljazair; dari pihak ibu, dan Syekh Ahmad al-Tijani berasal dari suku
tersebut. Keluarga Syekh Ahmad Al-Tijani adalah keluarga yang dibentuk dengan
tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syekh Ahmad al-Tijani adalah
seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Ketika Syekh Ahmad
al-Tijani memasuki usia balig dinikahkan oleh ayahnya. Sejak usia berapa tahun
beliau menikah? Dalam kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Syekh Ahmad
al-Tijani tidak dijelaskan. Namun apabila dihubungkan dengan tahun meninggal
kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni
tahun 1166 H. Diduga beliau nikah antara usia 15-16 tahun, sebab beliau lahir
pada tahun 1150 H. Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra
yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak secara berturut-turut
memimpin zawiyah (pesantren Sufi yang beliau dirikan). Mengenai tempat
meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati
bahwa beliau wafat di kota Fez Maroko. Hal ini bisa dimengerti karena
sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syekh Ahmad al-Tijani mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan
demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Maroko. Sebagaimana
tempat wafatnya, tahun wafatnya pun disepakati, yakni beliau wafat pada tahun
1230 H., dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir
pada tahun 1150 H. Demikian juga mengenai hari dan tanggal wafatnya, disepakati
bahwa beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal dan dimakamkan di kota
Fez Maroko.
Landasan dan Rumusan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Dasar-dasar
tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak tasawuf,
yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad
al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf, dimaksud dalam ajaran thariqatnya.
Pengkajian menyangkut tasawuf falsafi, bukan sesuatu hal yang sederhana, sebab
pengkajian ini sudah masuk dalam wilayah pemikiran; dan kaum thariqat, terlebih
ummat Islam pada umumnya yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki
wilayah ini sangat terbatas. Keterbatasn ini, ditunjukan dalam sejarah
pekembangan pemikiran Islam khusunya bidang tasawuf, banyak ummat Islam,
menilai, bahwa tasawuf falsafi dianggap sebagai pemikiran yang menyimpang dari
ajaran syari’at Islam. Dasar-dasar tasawuf falsafi yang dikembangkan Syekh
Ahmad at-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat
al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatam. Dua hal ini telah dibahas oleh
sufi-sufi filusuf, seperti al-Jilli, ibn al-Farid dan ibn Arabi. Tentang
pemikiran sufi-sufi ini, Syekh Ahmad al-Tijani mengembangkan dalam amalan
shalawat wirid thariqatnya, yakni : shalawat fatih dan shalawat jauhrat
al-Kamal. Konsep dasar haqiqat al-Muhammadiyyah ini disamping kontroversial, ia
juga complicated. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan apabila Syekh Ahmad
al-Tijani memberikan “aba-aba” kepada setiap orang, termasuk muridnya yang
ingin memasuki secara lebih jauh tentang diri dan thariqatnya. Untuk itu Syekh
Ahmad al-Tijani menegaskan
“Apabila kamu mendengar apa saja dariku, maka
timbanglah ia dengan neraca (mizan) syari’at. Apabila ia cocok, kerjakanlah dan
apabila menyalahinya, maka tinggalkanlah”Menurut KH. Fauzan, penegasan Syekh
Ahmad al-Tijani ini merupakan pertanggung jawaban yang terbuka, lapang dada dan
menyeluruh terhadap ajaran yang dikembangkannya, Sedangkan KH. Badruzzaman
melihat bahwa penegasan Syekh Ahmad al-Tijani tadi menunjukan pertaggung
jawabannya bahwa segala sesuatu yang diungkapkannya mempunyai dasar-dasar
syari’at. Hemat penulis, penegasan Syekh Ahmad al-Tijani di atas dilatar
belakangi dua hal : Pertama; Ia sendiri menyadari banyak ungkapan-ungkapan
pengalaman spiritual dan fatwanya, akan sulit dijangkau oleh pemahaman
masyarakat umum. Untuk itu, beliau menekankan untuk senantiasa mengembalikan
kepada tatanan dasar syair’at. Dengan kata lain, secara terbuka dan tegas ia
mengharuskan setiap orang yang akan meneliti ajarannya untuk senantiasa
terlebih dahulu memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad
saw., secara menyeluruh dan mendalam. Kedua; Penegasan tersebut, dikarenakan
“kekhawatirannya”, akan terjadi salah atau kurang tepat dalam memahami
pengalaman spiritual dan fatwanya-fatwanya, sehingga tidak sesuai atau salah
alamat dari apa yang dimaksudkan oleh dirinya. Kekhawatiran ini, didasarkan atas
upaya penggabungan dua corak tasawuf yang dirumuskan dalam bentuk bacaan
thariqatnya sebagai mana telah disebutkan. Sejak abad ke- Hijri, ajaran tasawuf
terpisah menjadi dua corak yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang dalam
sejarah perkembangannya masing-masing mempunyai metode tersendiri. Sebagai wali
yang mengaku memperoleh maqam wali khatm, al-Quthb al-Maktum, ia menyatukan
kembali dan atau mengutuhkan kembali dua corak tasawuf tersebut. Hemat penulis,
disinilah keunggulan Syekh Ahmad al-Tijani. Dan diduga peran inilah yang
dimaksud dengan ungkapannya : “Dua kakiku ini di atas tengkuk semua Waly Allah
Swt.”
Agaknya, hal tersebut di atas, sangat diantisipasi oleh KH. Badruzzaman, ia menegaskan, bahwa dalam melihat dan memahami fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani, senantiasa harus melihatnya melalui petunjuk al-Qur’an dan sunnah secara menyeluruh dan mendalam, lahiriyah dan batiniyah. Penegasan KH. Badruzzaman ini, didasarkan atas pengalaman dirinya dalam menganalisis Syekh Ahmad al-Tijani dan Thariqatnya; dimana sebelum merintis pengembangan ajaran thariqat tijaniyah, ia adalah “penentang yang gigih” terhadap thariqat ini. Landasan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai mana telah dijelaskan membangun rumusan tasawufnya. Ada dua rumusan tasawuf yang dikemukakannya.
:
a. Tentang definisi tasawuf; menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah :
“Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”. Melalui rumusan definisi di atas, Syekh Ahmad al-Tijani ingin menunjukan bahwa pada dasarnya, ajaran tasawuf merupakan pengamalan syari’at Islam secara utuh, sebagai sarana menuju Tuhan dan menyatu dalam kehendak-Nya. Keterpaduan dalam tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani antara amaliah lahir dan amaliah batin, adalah sebagai wujud pengamalan syari’at Islam secara keseluruhan. Sebab pada bagian lain ia menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah : “Ilmu yang terpaut dalam qalbu para wali yang bercahaya karena mengamalkan al-Qur’an dan sunnah.
Sejalan dengan pendapat ini, al-Tusturi (w. 456 H.) mengatakan bahwa ilmu tasawuf dibangun melalui kekuatan keterikatan terhadap Qur’an dan Sunnah. Sebagai wujud keterikatan Syekh Ahmad Al-Tijani dan thariqatnya terhadap syari’at, ia mengatakan bahwa syarat utama bagi orang yang mau mengikuti ajarannya adalah memelihara shalat lima waktu dan segala urusan syari’at. Dalam mengomentari landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad al-Hapidz dalam ahzab wa awrad, mengatakan: “Landasan pokok Thariqat Tijaniyah yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia, baik ilmiyah maupun alamiyah”Sedangkan KH. Badruzzaman, mengatakan bahwa landasan pokok Thariqat tijaniyah adalah memelihara syari’at yang mulia baik yang berhubungan dengan amaliah kalbu seperti khusyu (khusyuk), ikhlas (ikhlas) dan tawadha (rendah hati).
b. Tentang penegasan ajaran tasawufnya Sebagai wujud penekanan keterikatan ajarannya terhadap syari’at, Syekh al-Tijani menegaskan bahwa patokan utama pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan sunnah. Lebih tegas ia menyatakan : “Kami hanya mempunyai satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt., dan sabda Rasul-Nya. Penekanan Syekh Ahmad al-Tijani ini, dimaksudkan untuk menegaskan keterikatan ajarannya terhadap syari’at (al-Qur’an dan sunnah). Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani lahir pada Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, di Sahara Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh. Dari garis ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim bin Al ‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah Fatimatuzzahra binti Rasulullah Muhammad SAW. Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi. Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah shahih.” Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7 tahun telah hafal Alqur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain Madhi. Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi bertemu Allah SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga khatam. Allah SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H. Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad sangat mempercayakan pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh banyak mempelajari cabang ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengansempurna.
Agaknya, hal tersebut di atas, sangat diantisipasi oleh KH. Badruzzaman, ia menegaskan, bahwa dalam melihat dan memahami fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani, senantiasa harus melihatnya melalui petunjuk al-Qur’an dan sunnah secara menyeluruh dan mendalam, lahiriyah dan batiniyah. Penegasan KH. Badruzzaman ini, didasarkan atas pengalaman dirinya dalam menganalisis Syekh Ahmad al-Tijani dan Thariqatnya; dimana sebelum merintis pengembangan ajaran thariqat tijaniyah, ia adalah “penentang yang gigih” terhadap thariqat ini. Landasan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai mana telah dijelaskan membangun rumusan tasawufnya. Ada dua rumusan tasawuf yang dikemukakannya.
:
a. Tentang definisi tasawuf; menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah :
“Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”. Melalui rumusan definisi di atas, Syekh Ahmad al-Tijani ingin menunjukan bahwa pada dasarnya, ajaran tasawuf merupakan pengamalan syari’at Islam secara utuh, sebagai sarana menuju Tuhan dan menyatu dalam kehendak-Nya. Keterpaduan dalam tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani antara amaliah lahir dan amaliah batin, adalah sebagai wujud pengamalan syari’at Islam secara keseluruhan. Sebab pada bagian lain ia menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah : “Ilmu yang terpaut dalam qalbu para wali yang bercahaya karena mengamalkan al-Qur’an dan sunnah.
Sejalan dengan pendapat ini, al-Tusturi (w. 456 H.) mengatakan bahwa ilmu tasawuf dibangun melalui kekuatan keterikatan terhadap Qur’an dan Sunnah. Sebagai wujud keterikatan Syekh Ahmad Al-Tijani dan thariqatnya terhadap syari’at, ia mengatakan bahwa syarat utama bagi orang yang mau mengikuti ajarannya adalah memelihara shalat lima waktu dan segala urusan syari’at. Dalam mengomentari landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad al-Hapidz dalam ahzab wa awrad, mengatakan: “Landasan pokok Thariqat Tijaniyah yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia, baik ilmiyah maupun alamiyah”Sedangkan KH. Badruzzaman, mengatakan bahwa landasan pokok Thariqat tijaniyah adalah memelihara syari’at yang mulia baik yang berhubungan dengan amaliah kalbu seperti khusyu (khusyuk), ikhlas (ikhlas) dan tawadha (rendah hati).
b. Tentang penegasan ajaran tasawufnya Sebagai wujud penekanan keterikatan ajarannya terhadap syari’at, Syekh al-Tijani menegaskan bahwa patokan utama pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan sunnah. Lebih tegas ia menyatakan : “Kami hanya mempunyai satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt., dan sabda Rasul-Nya. Penekanan Syekh Ahmad al-Tijani ini, dimaksudkan untuk menegaskan keterikatan ajarannya terhadap syari’at (al-Qur’an dan sunnah). Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani lahir pada Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, di Sahara Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh. Dari garis ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim bin Al ‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah Fatimatuzzahra binti Rasulullah Muhammad SAW. Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi. Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah shahih.” Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7 tahun telah hafal Alqur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain Madhi. Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi bertemu Allah SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga khatam. Allah SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H. Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad sangat mempercayakan pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh banyak mempelajari cabang ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengansempurna.
Di samping Al-Hamawi, Syeikh Ahmad menyelesaikan Al-Mukhtasor karya Imam Kholil, Ar-Risalah karya Ibnu Rusyd dan Al-Muqaddimah karya Imam al-Akhdhari dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabruk bin Bu Afiyah At-Tijani. Tahun 1166 H. kedua orang tuanya meninggal pada hari yang bersamaan, karena penyakit tho-un/lepra yang mewabah. Yaitu ketika Syeikh Ahmad berumur 16 tahun. Dalam usia yang relatif muda, Syeikh telah menunjukkan kelebihannya dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendididikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar, menulis dan memberi fatwa. Pada tahun 1171 Syeikh mulai memasuki dunia sufi. Dalam salah satu fatwanya Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Dalam nash syara’ hanya diterangkan kewajiban tiap orang untuk memenuhi beberapa hak Alloh secara penuh, lahir dan batin. Tanpa adanya alasan apa pun. Tidak ada alasan apa pun untuknya dari hawa nafsu dan kelemahannya. Dalam syara’ hanya mewajibkan hal tersebut dan mengharamkan lainnya. Karena adanya siksa. Tidak ada kewajiban mencari guru selain guru ta’lim yang mengajarkan tata cara perkara syara’ yang dituntut untuk dilaksanakan seorang hamba. Baik berupa perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan. Tiap orang bodoh harus mencari guru ini. Tidak ada keluasan atau alasan meninggalkannya. Ada pun guru-guru lainnya setelah guru ta’lim tidak ada kewajiban mencarinya menurut syara’. Akan tetapi wajib mencarinya dari sisi nadhar. Seperti halnya orang yang sakit dan kehilangan kesehatannya. Apabila dia keluar untuk mencari kesembuhannya, maka mencarinya adalah wajib. Kami katakan wajib mencari dokter yang ahli dalam mendiagnosa penyakit, asalnya, obatnya, cara memperolehnya.
Jawaban Syeikh ini memberikan kejelasan dalam masalah pencarian guru. Karena sebagian ulama telah mengatakan bahwa meninggalkan pencarian terhadap guru tarbiyah dianggap maksiat.
Dari
sini dapat diketahui bahwa masuknya Syeikh dalam dunia sufi tidak dikarenakan
mengikuti kebanyakan manusia yang dilakukan zaman sekarang. Mereka memasuki
sebuah jalan tujuan, tanpa adanya pertimbangan berdasarkan pengetahuan tentang
sesuatu yang sedang mereka masuki. Mereka memasuki jalan tidak lebih karena
anggapan sebagian orang yang menilainya dengan keindahan luarnya belaka. Syeikh
memasuki dunia sufi berdasarkan pemikiran dan pengetahuan pada sesuatu yang
dikehendakinya dan memantapkannya. Sebagai bukti seorang murid (pencari
kebenaran) yang shadiq. Murid yang mengetahui keagungan Rububiyah dan hak-hak
Ilahiyah. Mengetahui bagian yang ada dalam dirinya, berupa kelemahan,
kemalasan, menyukai kenikmatan, dan meninggalkan amal shaleh. Di mana jika
keadaan itu terus ada dalam dirinya akan menyebabkannya tidak dapat memperoleh
puncak tujuan dunia-akhirat. Itu pun dilakukan setelah menguasai cabanng-cabang
ilmu. Pengetahuannya membawa dirinya untuk segera kembali dengan tekad,
semangat dan kemantapan; mencari seorang yang dapat membuka belenggu syahwatnya
dan menunjukkannya kepada jalan untuk sampai ke hadapan Robnya.Syeikh Ahmad bin
Muhammad At-Tijani berkata: “Ini adalah ciri murid shadiq (pencari kebenaran
sejati). Adapun lainnya hanya murid thalib atau pencari biasa. Terkadang dia
dapat mendapatkan hasil. Terkadang tidak mendapatkan apa-apa.” Oleh karenanya
sebagian ulama mengatakan bahwa setiap orang yang awalnya kokoh, maka akhirnya
akan sempurna.
Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, agama, rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki. Lawatan itu mengantarkannya ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memeberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Kemudian Syeikh segera kembali ke daerahya. Orang yang paling banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad. Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar. Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya, Syeikh sering pulang ke rumahnya. Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kasyaf di Gunung Zabib.
Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan ke Fas dan sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya. Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin Hasan Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:
“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir Maulana Abil Hasan.”
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari Thariqat Syadziliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa Syeikh akan mencapai kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Fas Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar tahun 1185 H.
Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, agama, rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki. Lawatan itu mengantarkannya ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memeberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Kemudian Syeikh segera kembali ke daerahya. Orang yang paling banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad. Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar. Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya, Syeikh sering pulang ke rumahnya. Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kasyaf di Gunung Zabib.
Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan ke Fas dan sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya. Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin Hasan Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:
“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir Maulana Abil Hasan.”
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari Thariqat Syadziliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa Syeikh akan mencapai kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Fas Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar tahun 1185 H.
Wali
Kutub lain yang ditemui Syeikh adalah Maulana At-Thayib bin Muhammad bin
Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan
banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas. Legenda
keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan kutub. Maulana
At-Thayib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk
kepada manusia di jalan Alloh dan kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah
menggantikan saudaranya Maulana At-Tihami yang menggantikan Sayid Muhammad yang
menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089
H.), kakek At-Thayib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya
keluarga At-Thayib secara turun-temurun memegang Thariqat Jazuliyah. Hal ini
terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepada Ahmad bin Ali Ash-Sharsori,
salah seorang tokoh Thariqat Jazuliyah. Ciri pokok tarekat ini adalah dengan
memperbanyak shalawat. Ayah At-Thoyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai
kedudukan kutub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi,
melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad
meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29 Muharam 1120 H.
Dalam
pertemuannya dengan Ath-Thayib Syeikh mengambil wirid darinya. Bahkan dalam
ijazahnya, At-Thayib telah memberikan izin kepada Syeikh untuk memberikan
talkin pada orang yang hendak mengambil wiridnya. Akan tetapi Syeikh menolak
hak talkin tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan
belum berminat untuk memegang salah satu jenisnya. Di sini Syeikh menunjukkan
ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh belum
mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. At-Thayib adalah salah satu
guru yang diakui oleh Syeikh pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari
Ahad, Bulan Rabiuts Tsani, tahun 1181 H. Selanjutnya, Syeikh bertemu dengan
Sayid Abdulloh bin Al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Al-Andalusi di
Fas. Thariqatnya bercorak Isyrak (konsep cahaya). Pertemuan ini banyak
memperbincangkan beberapa masalah. Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya,
Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh
selanjutnya. Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia dan akhirat dan pada akhir
perjumpaannya berkata: “Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan
menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu(menolongmu).”
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H. Syeikh juga pernah mengambil Thariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan. Thariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani. Tidak berapa lama thariqat ini pun ditinggalkan. Kemudian Thariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Thariqat ini pun ditinggalkan. Selanjutnya Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah, Sayid Abul Abbas Ahmad Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu isim (nama ilahi) kepadanya dan berkata:
“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga Alloh memberikan futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan yang agung.”
Perkataan At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tijani, sehingga ia mengulangi perkataannya: “Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus kholwah dan meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan tersebut.”
Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justeru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi ciri utama Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di Tazah. Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Shahara Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang diperoleh sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H. Syeikh juga pernah mengambil Thariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan. Thariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani. Tidak berapa lama thariqat ini pun ditinggalkan. Kemudian Thariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Thariqat ini pun ditinggalkan. Selanjutnya Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah, Sayid Abul Abbas Ahmad Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu isim (nama ilahi) kepadanya dan berkata:
“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga Alloh memberikan futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan yang agung.”
Perkataan At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tijani, sehingga ia mengulangi perkataannya: “Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus kholwah dan meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan tersebut.”
Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justeru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi ciri utama Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di Tazah. Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Shahara Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang diperoleh sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.
Syeikh
memasuki Tunisia pada tahun 1180 H. Di daerah Azwawi, Al-Jazair Syeikh menemui
seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrohman
Al-Azhari. Syeikh mengambil Thariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari meninggal
pada permulaan Muharam tahun 1180 H. Selanjutnya Syeikh menuju ke Tilmisan pada
tahun 1181 dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan
membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadits dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan
taqarrub dengan bertawajjuh pada keagungan rububiyah dengan menyatakan
ke-shidiq-an ubudiyahnya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan
ilmunya. Sehingga mulai terlihat kefutuhan yang membuka beberapa hijab yang
menghalangai antara seorang hamba dan Alqudus (Alloh). Syeikh menyatakaan hijab
yang tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid
dan Irfan.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat dari Tilmisan pada tahun 1186 H.
Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang terkenal, Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid wali kutub negeri tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat dari Tilmisan pada tahun 1186 H.
Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang terkenal, Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid wali kutub negeri tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya.
Thariqat
Tijaniyah adalah Thariqat yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad.
Mengambil dari nama kabilahnya. Thariqat ini juga masyhur dengan nama Thariqat
Al-Muhammadiyah. Thariqat ini diterima langsung dari Rasululloh SAW dalam
keadaan jaga. Bukan dalam keadaan tidur. Memang sebelum mendapatkan ijazah
langsung dari Rasululloh SAW, Syeikh Ahmad pernah mengambil beberapa jalur
Thariqat dari beberapa Syeikh lain. Seperti Thariqat Khalwatiyah dari Abi
Abdillah bin Abdur Rahman Al-Azhari.
Pada
usia 46 tahun (tahun 1196 H.), Beliau dianugerahi berjumpa dengan Rasululloh
SAW dalam keadaan Yaqdhah (terjaga). Dan sejak saat itu Rasululloh SAW selalu
mendampinginya dan tidak pernah hilang dari pandangannya. Keadaan inilah yang
disebut dengan Al-Fathul Akbar (terbukanya tirai yang menghalangi antara
seseorang dan Rasululloh). Rasululloh SAW selalu membimbing Syeikh Ahmad bin
Muhammad At-Tijani dan memerintahkan kepada Syeikh untuk meninggalkan sandaran
kepada guru-gurunya. Karena gurunya sekarang adalah Rasululloh SAW secara
langsung. Sehingga Beliau selalu berkata dengan menyandarkannya kepada
Rasululloh SAW. Ketika itu, Rasululloh SAW mentalkin (mengajarkan) dzikir/wirid
berupa Istighfar dan Shalawat. Masing-masing dibaca 100 kali. Pengajaran dzikir
ini disempurnakan oleh Rasululloh SAW pada tahun 1200 H. dengan tambahan
Hailalah 100 kali. Dzikir inilah yang diperintahkan oleh Rasululloh SAW untuk
disebarluaskan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia dan jin. Ketika Syeikh
Ahmad bin Muhammad berusia 50 tahun. Pada Bulan Muharam, tahun 1214 H Syeikh
Ahmad bin Muhammad telah sampai pada martabat Al-Quthub AL-Kamil, Al-Quthbul
Al-Jami’ dan Al-Quthbul Udzhma. Pengukuhan ini dilakukan di Padang Arafah,
Makah Al-Mukaramah.
Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau dianugerahi sebagai Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan para muhibbin Thariqat Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz, Maroko, tahun 1230 H. Jawahirul Ma’ani, Sayyid Ali Harazim bin Arabi. Keterangan lain dari Sayyid Zubair, cucu kelima Syekh Ahmad.
Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau dianugerahi sebagai Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan para muhibbin Thariqat Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz, Maroko, tahun 1230 H. Jawahirul Ma’ani, Sayyid Ali Harazim bin Arabi. Keterangan lain dari Sayyid Zubair, cucu kelima Syekh Ahmad.
No comments:
Post a Comment