.

Bintang-bintang Dan Pepohonanpun Berdzikir Dengan Bergoyang, Bukankah Hanya dengan Berdzikir Hati Menjadi Tenang, Anda Memasuki Kawasan Wajib Dzikrullah

Wednesday 26 March 2014

MANAQIB SYAIKH NAQSYABANDY


Syeikh Bahauddin Naksyahbandi




PELETAK DASAR TAREKAT NAQSYABANDIYYAH

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan spiritual

Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru. Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!” Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai “Naqshaband” (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia. Mengembalikan Esensi Tasawuf Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya. Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205). Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat. Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau “bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.” Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu “mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!” aunul abied shah/taq
Syaikh Muhammad Bahaa'uddin Naqshband (qs)
PART II
Maulana Syaikh Naqsyaband, Imam ut Thariqah adalah Pir. Pir berarti Imam. Imam berarti Tiang. Dia adalah Tiang utama Tarekat kita. Semoga Allah memberkati Beliau dan memberkati kita semua di dunia ini dan akhirat kelak. Maulana Syaikh Naqsyaband berkata “Thariqathun isthufal khalqa jamii-an”. Kita mencoba mengikut dan menjadi pengikut. Ini adalah cara yang mudah dan enak untuk menuju kekuatan.
Ada suatu mesin yang bekerja di depan rangkaian kereta api. Semua kerja yang berat dikerjakan oleh mesin itu. Dibelakang mesin itu ada beberapa gerbong yang bergabung bersama gerbong lainnya membentuk suatu rangkaian, tapi kekuatan utama berasal dari mesin itu, yaitu mesin yang berada didepan dalam rangkaian kereta api. Karena gerbong yang lain bergabung dengan mesin itu, mereka bergerak sesuai dengan arah dari mesin itu. Kemana saja mesin itu menuju rangkaian gerbong itu mengikuti. Walaupun rangkaian gerbong atau pengikut tidak punya kekuatan sendiri, tapi kemanapun mesin mengarah, mereka dapat menuju kesana juga. Mereka bisa juga berjalan menuju tempat tujuan mesin itu.
Karena itu, setiap Tarekat memiliki seorang Imam Tarekat. Imam-ut-Thariqah (Imam Tarekat) telah dikaruniai kekuatan untuk membawa kita dari asfala safiliina ilaa alaa illiyyiin, dari tingkatan terendah ke tingkatan tertinggi. Kalau hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri mustahil kita bisa mencapainya. Anda tidak akan bisa terbang tanpa naik pesawat udara. Dengan menumpang pesawat udara Anda bisa menempuh perjalanan bahkan dari satu benua ke benua lainnya. Karena itu, Anda harus menggunakan sarana (tarekat) ini untuk beranjak dari maqam terendah Anda hingga ke maqam tertinggi yang mungkin dicapai.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lahir di desa Qasr al-Arifan dekat Bukhara pada tahun 711 H/1317 M. Beliau dikabarkan telah menunjukkan berbagai keajaiban yang luar biasa sejak masa kecilnya. Ketika Beliau masih muda, Muhammad Baba as Samasi, seorang Syaikh dari Tarekat Naqsyabandi memintanya datang dan untuk memenuhi permintaan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband berangkat ke kota Samas untuk berkhidmat kepada Maulana Syaikh Muhammad Baba as Samasi. Tentang kehidupan Beliau dalam periode ini Maulana Syaikh Bahauddin (ral), mengisahkan:
Bangun dari tidur setidaknya tiga jam sebelum subuh aku mengerjakan rangkaian shalat sunah dan setelah itu ketika dalam keadaan sujud aku memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memberiku kekuatan untuk memikul Cinta Ilahiah Nya. Kemudian aku shalat subuh bersama Syaikh ku. Kelihatannya Syaikh mengetahui apa yang kuminta dalam sujudku, karena Beliau mengatakan kepadaku: Kamu harus mengubah apa yang kau minta dalam sujudmu, karena Allah Yang Maha Kuasa tidak suka hambaNya meminta kesukaran. Memang Dia memberi beberapa kesulitan kepada mahlukNya untuk menguji mereka. Hal ini berbeda. Seorang hamba tidaklah boleh meminta untuk diberi kesulitan-kesulitan karena hal ini tidak menunjukkan penghormatan kepada Allah. Karena itu ubahlah permohonan dalam sujudmu dengan berdoa “untuk hambaMu yang lemah ini wahai Tuhanku, karuniakanlah ridhoMu”.
“Sepeninggal Syaikh Muhammad Baba Samasi aku pergi ke Bukhara dan menikah disana. Aku tinggal di Qasr al-Arifan dekat tempat tinggal Syaikh Sayyid Amir Kulal dalam rangka berkhidmat kepada Beliau”. Menurut riwayat lama sebelumnya Syaikh Baba Samasi telah mengatakan kepada Sayyid Amir Kulal untuk mengasuh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband.
Maulana Syaikh Bahauddin (ral) mengisahkan pengalamannya. “Suatu ketika aku sedang melakukan khalwat bersama seorang kawan ketika tiba-tiba surga dan suatu pemandangan yang luar biasa ditampakkan didepanku. Dalam visi itu kudengar suara berkata “Tinggalkan semuanya dan datanglah ke Hadirat Kami sendirian”. Aku mulai gemetar dan lari meninggalkan tempat khalwat ke suatu tempat yang ada sungainya dan melompat ke dalam sungai itu. Aku mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang aku belum pernah melakukan sebelumnya karena aku merasakan sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi. Terjadi Penyingkapan (futuh) di hatiku dan itu merupakan pembuka atas segala sesuatu. Seluruh alam semesta lenyap dan aku tidak sadar akan apapun selain sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi”. Ada riwayat luar biasa lainnya yang dikisahkan Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral). Beliau bercerita “Pada tahap awal dari keadaan kertertarikanku aku ditanya mengapa aku menempuh jalan ini. Kujawab supaya aku mendapat kekuatan sehingga apapun yang kukatakan dan kuinginkan akan terwujud. Dijawab bahwa tidak bisa seperti itu, karena sesungguhnya apa yang Kami sabdakan dan yang Kami kehendaki adalah yang akan terjadi. Kujawab lagi bahwa aku tidak setuju dengan hal itu. Aku harus mampu berkata dan berbuat apapun yang kuinginkan, jika hal ini tidak bisa kudapat maka kenapa aku harus menempuh jalan ini? Lalu kuterima jawaban: tidak, sesungguhnya apapun yang Kami kehendaki Kami sabdakan dan apapun yang Kami kehendaki akan terwujud. Kujawab lagi apapun yang kukatakan dan kulakukan adalah jalan yang kutempuh. Setelah itu aku ditinggalkan sendirian.
Selama lima belas hari aku sendirian. Hal ini membuatku tenggelam dalam depresi yang mendalam. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara “Wahai Bahauddin seperti yang kau inginkan maka Kami mengaruniaimu apapun yang kau inginkan”. Aku memohon agar diberi jalan yang bisa langsung menuju Hadirat Ilahi. Lalu aku mengalami visi yang luar biasa dan mendengar suara yang mengatakan bahwa aku telah dikarunia apa yang kuminta”.
Kisah ini luar biasa karena biasanya orang patuh pada Perintah Ilahi dan tidak meminta pemenuhan keinginan mereka sendiri. Biasanya tindakan menolak untuk mematuhi Perintah Ilahi dan memaksa untuk mendapatkan apa yang diingini akan dianggap tidak adab. Walaupun pada awalnya ditolak, permohonan Maulana Syaikh Bahauddin (ral) akhirnya dikabulkan. Permohonannya dikabulkan mungkin karena Beliau memohon untuk kemaslahatan orang banyak dan bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Ada kisah lain yang tak kalah menariknya kala Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) diuji oleh Syaikh nya. Ini sungguh ujian yang berat. Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menuturkan kejadian ini. “Suatu ketika aku berada dalam tarikan Ilahiah yang begitu kuat sehingga aku tidak sadar akan diriku dan berjalan tanpa menyadari apa yang kulakukan. Ketika malam tiba kulihat kedua kakiku berdarah akibat luka sobek dan tertusuk duri. Lalu kurasakan bahwa aku harus pergi ke rumah Syaikh ku, Sayyid Amir Kulal. Malam itu terasa sangat dingin dan gelap tanpa ada bulan dan bintang sama sekali. Untuk melawan dinginnya malam aku hanya mengenakan jubah tua terbuat dari kulit. Ketika sampai di rumah Syaikh ku, kulihat Beliau sedang bersama teman-teman dan para pengikut Beliau. Ketika Syaikh melihatku Beliau memerintahkan pengikutnya untuk mengusirku keluar dari rumah. Syaikh ku tidak suka aku berada di dalam rumahnya. Pengikut Syaikh mendatangiku dan membawaku keluar dari rumah. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini.
Terasa egoku akan mengalahkanku dan mengambil alih kendali perasaanku dengan mencoba meracuniku dengan menggoyah keyakinanku yang tulus pada Syaikh ku. Bagaimana aku bisa menanggung malu dan rasa terhina seperti ini? Lalu Rahmat Ilahi datang kepadaku sehingga aku mampu menanggung ini semata-mata hanya demi Allah dan demi Syaikh ku. Dengan tegas kukatakan pada egoku bahwa aku tidak akan membiarkan egoku membuatku kehilangan cinta dan keyakinanku pada Syaikh ku.
Lalu kurasakan depresi yang mendalam melandaku. Langsung kuarahkan diriku pada keadaan kerendahan hati, meletakkan kepalaku didepan pintu masuk rumah Syaikh dan berjanji bahwa aku tidak akan bergerak dari keadaan seperti itu sampai Beliau menerimaku lagi. Terasa salju dan angin dingin menyusup tulang yang membuatku menggigil dan gemetar menahan dinginnya malam yang kelam. Bahkan tak tampak cahaya bulan dan bintang sedikitpun pun untuk membuatku sedikit nyaman dan hangat. Tubuhku nyaris membeku. Hanya hangatnya cinta kepada Allah Yang Maha Kuasa dan kepada Syaikh ku saja yang menghangatkanku.
Aku menanti dengan tetap dalam keadaaan seperti itu hingga pagi hari. Lalu Syaikh ku melangkah keluar rumah dan tanpa melihatku kakinya menginjak kepalaku. Ketika Syaikh melihatku, dengan cepat dibawanya aku masuk ke dalam rumahnya dan dengan telaten serta penuh perhatian Beliau mencabuti duri dari kakiku. Beliau berkata “Wahai anakku, hari ini kau telah dihiasi dengan busana kebahagiaan dan Cinta Ilahi. Busana yang menghiasimu ini belum pernah dikenakan oleh siapapun, baik diriku maupun Syaikh-syaikh sebelumku. Allah dan Nabi Muhammad (sal) telah ridho kepadamu. Demikian juga Para Auliya dalam silsilah Rantai Emas, mereka semua telah ridho kepadamu”.
Sambil mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh luka di kakiku, Syaikh ku menuangkan kedalam hatiku pengetahuan yang belum pernah kualami sebelumnya. Lalu dalam visiku kulihat diriku memasuki rahasia dari Muhammadur RasuluLlah. Ini berarti memasuki rahasia dari ayat yang merupakan Realitas Muhammad. Setelah itu membawaku memasuki rahasia dari la ilaha illaLlah yang merupakan rahasia dari Keesaan Allah. Kemudian membawaku memasuki rahasia-rahasia dari nama-nama dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa yang berada dalam rahasia dari Keesaan Allah. Tidak mungkin kata-kata bisa menerangkan keadaan yang kualami ini. Hal ini hanya bisa dialami dengan merasakannya melalui qalbu”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) dididik oleh Syaikh Baba as Samasi dan Syaikh Sayyid Amir Kulal, keduanya merupakan figur Syaikh terkemuka dari Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi. Beliau juga dididik langsung oleh Grand Syaikh terkemuka lainnya dari Rantai Emas yang sama (yang hidup tidak sejaman dengan mereka). Kejadian ini dikisahkan oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband dalam tuturan berikut: Pada awal mula langkahku menempuh Jalan Sufi aku biasa berjalan-jalan dimalam hari dari satu tempat ke tempat lain di desa Bukhara. Untuk belajar dari mereka yang sudah meninggal dunia aku banyak mengunjungi kuburan di kegelapan malam dan ini biasanya juga kulakukan di musim dingin. Suatu malam aku pergi mengunjungi makam dari Syaikh Ahmad al Kashghari dan membaca fatihah untuk Beliau. Di makam Beliau kutemui dua orang yang sedang menantiku. Aku belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Mereka disertai seekor kuda. Mereka mendudukanku diatas pelana kuda itu dan mengikatkan dua buah pedang di pinggangku, lalu menuntun kuda ke makam dari Syaikh Mazdakhin. Kami lalu turun dari kuda dan memasuki makam dan mesjid dari Syaikh ini dan mulai melakukan meditasi (murakabah).
Dalam keadaan murakabah kulihat dalam dalam visiku tembok yang menghadap Ka’bah runtuh. Seorang laki-laki bertubuh raksasa kulihat sedang duduk diatas singgasana yang sangat besar. Aku merasa sangat familiar dengannya, sepertinya aku telah pernah bertemu dengannya sebelumnya. Kemanapun aku menghadapkan wajah kulihat orang ini. Disekeliling orang ini ada Syaikh Baba Samasi and Sayyid Amir Kulal berkumpul bersama dengan sekelompok besar orang yang hadir. Aku merasakan rasa cinta yang mendalam kepada laki-laki bertubuh besar ini dan pada saat bersamaan merasa takut padanya. Sosoknya memesona sekaligus menakutkanku dan keindahannya penampilannya menimbulkan rasa cinta dan ketertarikan. Aku bertanya pada diriku sendiri siapa sebenarnya lelaki agung dan bertubuh besar ini. Tiba-tiba kudengar seseorang yang berada disekitar lelaki itu berkata “Orang ini adalah Syaikh mu dan dialah yang menjagamu dalam jalur spiritualmu. Dia mengawasi jiwamu sejak masih berupa sebuah atom di Hadirat Ilahi. Kau telah dilatihnya selama ini. Namanya adalah Abdul Khaliq Al Gujduwani dan kumpulan orang yang terlihat disekelilingnya adalah para Auliya yang membawa rahasia-rahasia besarnya, rahasia-rahasia dari Rantai Emas”. Lalu Syaikh Abdul Khalik mulai menunjuk masing-masing Syaikh yang ada disitu dan berkata “Ini adalah Syaikh Ahmad, ini Arif ar-Riwakri, ini Syaikh Ali ar-Ramitani, ini Syaikh mu Baba as Samasi yang memberimu jubah semasa hidupnya”. Dia bertanya padaku “Apakah kau mengenalnya?”. Kujawab “Ya”. Lalu Beliau berkata “Jubah yang diberikannya kepadamu masih berada dirumahmu dan dengan perkenan Syaikh mu maka Allah Yang Maha Kuasa telah menghapus banyak kesulitan-kesulitan yang semestinya menimpamu”.
Lalu terdengar suara lain yang berkata ”Syaikh yang duduk diatas yang singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau butuhkan dalam menempuh jalan sufi ini”. Aku bertanya kepada mereka apakah aku diperbolehkan menyentuh tangan Beliau. Setelah diijinkan aku memegang tangan Beliau. Lalu Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani mulai mengajariku tentang jalan sufi, permulaannya, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata “Kau harus menyesuaikan sumbu hakikat dirimu sehingga cahaya yang tak kasat mata akan diperkuat didalam dirimu dan rahasia-rahasianya menampak. Kau harus menunjukkan istiqomah dan harus menjaga Syariah Suci dari Nabi Muhammad (sal) pada apapun keadaanmu”.
Beliau juga berkata “Kau harus meninggalkan kesenangan hidup duniawi dan menjauhi perbuatan bid’ah dan pusatkan dirimu hanya pada sunah-sunah Nabi Muhammad (sal). Kau harus menghayati dan menyelami peri kehidupan Nabi Muhammad (sal) dan para sahabatnya. Kau harus mengajak orang untuk membaca dan mengikuti tuntunan Qur’an baik siang maupun malam dan menegakkan shalat wajib serta semua ibadah sunah. Jangan sekali-kali memandang rendah bahkan pada hal-hal kecil dari perbuatan dan amal shalih Nabi Muhammad”.
Begitu Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujduwani (ral) menyelesaikan ucapannya, wakil Beliau berkata padaku ”Agar kau yakin bahwa visi yang kau lihat ini benar adanya Beliau akan mengirimu suatu pertanda”. Dijelaskan bahwa hal-hal dan kejadian-kejadian tertentu akan terjadi sebagaimana mustinya terjadi dan pada saat yang telah ditentukan. Demikianlah kejadian-kejadian itu terjadi persis sebagaimana telah dikatakan kepada Maulana Syaikh Bahauddin (ral) yang kemudian juga berbuat persis sebagaimana Beliau diperintahkan, hal ini membuktikan kebenaran visi yang dialami Maulana Syaikh Bahauddin (ral). Beliau juga diminta untuk memberikan jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal (ral). “Setelah visi itu berakhir aku pulang kerumah dan mencari jubah itu dan bertanya kepada keluargaku dimana adanya jubah itu. Mereka mengatakan kepadaku bahwa jubah itu sudah berada disana sejak lama, sambil membawa jubah itu dan menyerahkannya kepadaku. Aku mulai menangis didalam hati ketika melihat jubah itu”.
Setelah memenuhi segala hal yang dikatakan dalam visiku, sebagaimana diperintahkan aku membawa jubah Azizan ke Syaikh Sayyid Amir Kulal (ral) dan memberikan padanya. Setelah terdiam beberapa saat Syaikh Amir Kulal berkata padaku “Aku diberitahu tentang jubah Azizan ini semalam yaitu bahwa kamu akan membawa dan menyerahkannya padaku. Aku diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapis selubung yang berbeda“. Beliau lalu memintaku masuk ke dalam kamarnya dan mengajarkan serta menempatkan didalam hatiku zikir tanpa bersuara. Aku diminta untuk terus menerus berzikir seperti itu siang dan malam. Aku terus mengamalkan zikir ini yang merupakan bentuk tertinggi dari zikir.
Aku juga berguru kepada ulama-ulama lain untuk belajar Syariah dan sunah-sunah Nabi Muhammad (sal) dan juga mengkaji sifat-sifat Nabi Muhammad (sal) dan para sahabatnya. Sejak aku melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dalam visiku, hidupku mengalami perubahan besar. Semua yang diajarkan oleh Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) dalam visi itu bermanfaat bagiku dan membuahkan hasil. Ruh Beliau selalu menyertaiku dan mendidikku. Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) adalah salah satu dari beberapa Guru/Syaikh dari Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) walaupun Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) hidup dimasa sebelum jaman Maulana Syaikh Naqsyaband (ral). Hubungan ini dalam dunia sufi dikenal sebagai Hubungan Uwaisy, yang berarti bimbingan dan hubungan spiritual terjadi walaupun masing-masing berasal dari jaman yang berbeda. Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) juga merupakan salah satu Syaikh dari Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengikuti dan belajar pada Mawlana Arif ad-Din Karani selama tujuh tahun. Setelah itu Beliau mengikuti Maulana Kuthum Syaikh selama beberapa tahun. Beliau juga menyertai seorang darwis bernama Khalil Ghirani yang tentangnya Beliau berkata “Selama menyertai Syaikh Khalil Ghirani banyak pengetahuan baru yang selama ini tersembunyi mulai tersingkap di hatiku dan Beliau selalu menjagaku, memujiku dan mengangkat derajatku”. Ada Kekasih Allah lainnya yang disebut oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) “Beliau memerintahkanku untuk menolong dan melayani orang miskin dan menolong mereka yang sedang hancur hatinya. Beliau memintaku untuk rendah hati dan bersikap toleran. Beliau juga mengatakan padaku untuk menyayangi hewan-hewan dan menyembuhkan sakit dan luka mereka dan memberi mereka makanan”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqshband (ral) mengisahkan tentang kejadian lain yang masih berhubungan dengan jubah Azizan. “Suatu hari aku sedang berada di kebunku dan dikelilingi oleh murid-muridku. Aku mengenakan jubah Azizan. Tiba-tiba aku diliputi oleh rahmat dan tarikan surgawi dan kurasakan diriku dihiasi dengan busana sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Kurasakan diriku mulai gemetar sedemikian rupa yang tak pernah kualami sebelumnya sehingga aku tak mampu lagi berdiri. Lalu tampak olehku visi yang luar biasa dimana keberadaanku sama sekali lenyap (fana) dan aku tidak melihat apapun kecuali Wujud Tuhanku.
Lalu kulihat diriku keluar dari Hadirat Ilahiah-Nya yang tampak terpantul dari cermin Muhammadur RasuluLlah yang berbentuk sebuah bintang dalam samudra cahaya tanpa batas. Wujud luarku lenyap dan kusaksikan makna sesungguhnya dari la ilaha illaLlah Muhammadur Rasulullah. Kemudian kusaksikan makna sejati dari nama-nama Allah yang kemudian membawaku kepada Yang Maha Ghaib yang merupakan esensi dari nama Allah ‘Huwa” (Dia). Begitu aku memasuki samudra ini jantungku berhenti berdetak dan hidupku berakhir. Aku berada dalam keadaan mati. Semua orang yang berada disekelilingku mulai menangis karena mengira aku sudah meninggal dunia. Akan tetapi setelah kitra-kira enam jam aku diperintahkan untuk kembali ke ragaku. Aku bisa menyaksikan ruhku kembali memasuki ragaku perlahan-lahan dan visi itu berakhir”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengatakan kalau Beliau menerima rahasia-rahasia spiritual dari berbagai pihak dan khususnya dari Uways al-Qarani (ral) yang memberi pengaruh besar dalam hal meninggalkan keduniawian dan melekatkan diri Beliau kepada hal-hal spiritual (ukhrowi). Beliau berkata “Aku melakukan ini dengan menjaga sunnah dan perintah-perintah Nabi Muhammad (sal) sampai aku mulai menyebarkan hikmah dan dikarunia rahasia-rahasia Ilahiah dari yang Maha Esa yang tidak pernah diberikan pada seorangpun sebelumku”
Ada kisah menarik lainnya yang dituturkan oleh Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) mengenai kekuatan spiritual Beliau. Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) berkata: Suatu hari aku pergi ke gurun bersama salah satu muridku yang tulus yang bernama Muhammad Zahid. Kami mulai menggali tanah dengan menggunakan sebuah beliung (alat untuk menggali) dan pada saat bersamaan juga sambil membicarakan secara mendalam tingkatan-tingkatan pengetahuan. Sambil terus mengayun beliung pembicaraan kami terus berlangsung dan semakin mendalam. Lalu tiba-tiba muridku bertanya “Sampai batas apakah pencapaian ibadah?”. Kujawab ”Peribadatan mencapai suatu tingkatan dimana kau mampu menunjuk pada seseorang dan berkata “Matilah” dan lalu orang itupun mati”. Ketika aku sedang mengatakan itu tanpa sadar sambil telunjukku menunjuk pada Muhammad Zahid. Ketika kukatakan kata “Mati” terjadilah hal yang mengerikanku yaitu muridku jatuh dan meninggal dunia. Waktu terus berlalu dari pagi sampai tengah hari dan muridku masih dalam keadaan mati. Pada saat tengah hari terasa sangat panas dan jenasah muridku mulai semakin memburuk karena panas yang sangat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan merasa takut serta kebingungan. Yang bisa kulakukan adalah membawa jenasahnya ketempat teduh dibawah pohon. Aku lalu duduk mulai berfikir dan merenung akan apa yang harus kulakukan dalam situasi ini. Tiba-tiba muncul Ilham dalam pikiranku dan aku berkata sambil menunjuk pada jenasah muridku “Wahai Muhammad Hiduplah!” tiga kali. Timbul rasa legaku ketika perlahan-lahan nyawanya kembali ke tubuhnya dan secara bertahap muridku kembali ke kesadarannya. Dengan bergegas aku menemui Syaikh ku dan menceritakan kejadian itu. Syaikh ku kemudian berkata “Wahai anakku, Allah Yang Maha Kuasa telah memberimu suatu rahasia yang tak pernah diberikannya kepada siapapun”.
Dihari-hari akhir masa hidupnya Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lebih sering mengurung diri di kamarnya. Banyak orang yang datang mengunjungi Beliau. Semakin banyak orang yang berkunjung ketika sakit Beliau semakin parah. Saat ajal Beliau makin dekat, Beliau memerintahkan agar dibacakan Surah Yaasin. Selesai dibacakan Surah Yaasin Beliau mengangkat tangan sambil membaca Dua Kalimah Syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad (sal) adalah Utusan Allah. Dengan Syahadat ruh suci Beliau kembali kepada Allah. Ketika itu tanggal 3 Rabiul Awwal, 791 H/1388 M, pada hari Senin malam. Sesuai permintaannya Beliau dimakamkan di taman miliknya. Mengenai kejadian ini seorang Wali Agung masa itu Abdul Wahab asy-Syarani berkata: Ketika Syaikh dimakamkan di makamnya terbukalah untuk Beliau sebuah jendela ke surga, sehingga makamnya menjadi sebuah taman surga. Dua mahluk spiritual berpenampilan memesona datang dan memberi salam kepada Beliau sambil berkata “Kami telah menanti sekian lama untuk melayani Anda sejak Allah menciptakan kami dan sekarang waktunya telah tiba bagi kami untuk melayani Anda”, terhadap ucapan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menjawab “Aku tidak butuh apapun selain Dia. Aku tidak butuh kamu, aku butuh Dia”. Dengan cara seperti itu Beliau mangkat.
Itulah kisah kebesaran dari Pir atau Tiang dari Tarekat Naqsyabandi yang mulia. Tarekat ini sebelum jaman Beliau dikenal sebagai Tarekat Siddiqiyah. Setelah Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral), tarekat ini dikenal sebagai Tarekat Naqsyabandiyah. Semoga Allah merahmati Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral).Amiin.

No comments: