Syeikh Bahauddin Naksyahbandi
PELETAK DASAR TAREKAT NAQSYABANDIYYAH
Nama lengkapnya
adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia
lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan
Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui
Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua
India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal
dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata
sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya
anakku ini adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin
karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering.
Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di
Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai
khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti
para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika
Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel
Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari
desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba
Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan
langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi
memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin
meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan
pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu
lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan
spiritual
Bahauddin pun
berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar
yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf
dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak
lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru. Bahauddin juga percaya bahwa sebuah
jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap
rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari
sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin
ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar
berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya
menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang
tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia
tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di
hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah
lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena,
hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!” Di bawah asuhan Amir
Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di
antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke
makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih
banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk
menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan
khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam
barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu,
Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia,
termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah
seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan,
yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin
mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu,
Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual
langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di
dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan
pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah
bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul
Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu
Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi,
tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin.
Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap
habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya
menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah
habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin
kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani
dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul
dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas
USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3
Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul
Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai “Naqshaband” (bahasa
Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan
Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia.
Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta
anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat
Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah
dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari
setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan
Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat
Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di
Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada
beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan
Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai
namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia. Mengembalikan
Esensi Tasawuf Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama
dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi
Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam
wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah
terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan Allah
semata.
Shah Naqshaband
menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu
sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan
segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan
hanya kepada-Nya. Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah
dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang
terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti
tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan
kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya
sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai
maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan
seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir
dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu
dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu),
tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205). Zikir dalam hati dipilih karena
silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode
zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya
bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan
suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi
tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati
yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan
Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan
langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang
Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat. Shah Naqshaband pernah menyatakan
bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh
asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan
mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau
“bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu
serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain,
bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif.
Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan
kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih
mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan
kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan
sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan
spiritual.
Selain itu,
bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya
dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan
seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.”
Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling
komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan,
tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu
“mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah
Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara
paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani
perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam
menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa
Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa
yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah
keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah
Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang
mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia
telah tersesat!” aunul abied shah/taq
Syaikh
Muhammad Bahaa'uddin Naqshband (qs)
PART
II
Maulana
Syaikh Naqsyaband, Imam ut Thariqah adalah Pir. Pir berarti Imam. Imam berarti
Tiang. Dia adalah Tiang utama Tarekat kita. Semoga Allah memberkati Beliau dan
memberkati kita semua di dunia ini dan akhirat kelak. Maulana Syaikh Naqsyaband
berkata “Thariqathun isthufal khalqa jamii-an”. Kita mencoba mengikut dan
menjadi pengikut. Ini adalah cara yang mudah dan enak untuk menuju kekuatan.
Ada
suatu mesin yang bekerja di depan rangkaian kereta api. Semua kerja yang berat
dikerjakan oleh mesin itu. Dibelakang mesin itu ada beberapa gerbong yang
bergabung bersama gerbong lainnya membentuk suatu rangkaian, tapi kekuatan
utama berasal dari mesin itu, yaitu mesin yang berada didepan dalam rangkaian
kereta api. Karena gerbong yang lain bergabung dengan mesin itu, mereka
bergerak sesuai dengan arah dari mesin itu. Kemana saja mesin itu menuju
rangkaian gerbong itu mengikuti. Walaupun rangkaian gerbong atau pengikut tidak
punya kekuatan sendiri, tapi kemanapun mesin mengarah, mereka dapat menuju
kesana juga. Mereka bisa juga berjalan menuju tempat tujuan mesin itu.
Karena
itu, setiap Tarekat memiliki seorang Imam Tarekat. Imam-ut-Thariqah (Imam
Tarekat) telah dikaruniai kekuatan untuk membawa kita dari asfala safiliina
ilaa alaa illiyyiin, dari tingkatan terendah ke tingkatan tertinggi. Kalau
hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri mustahil kita bisa mencapainya.
Anda tidak akan bisa terbang tanpa naik pesawat udara. Dengan menumpang pesawat
udara Anda bisa menempuh perjalanan bahkan dari satu benua ke benua lainnya.
Karena itu, Anda harus menggunakan sarana (tarekat) ini untuk beranjak dari
maqam terendah Anda hingga ke maqam tertinggi yang mungkin dicapai.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lahir di desa Qasr al-Arifan dekat Bukhara
pada tahun 711 H/1317 M. Beliau dikabarkan telah menunjukkan berbagai keajaiban
yang luar biasa sejak masa kecilnya. Ketika Beliau masih muda, Muhammad Baba as
Samasi, seorang Syaikh dari Tarekat Naqsyabandi memintanya datang dan untuk
memenuhi permintaan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband berangkat ke kota
Samas untuk berkhidmat kepada Maulana Syaikh Muhammad Baba as Samasi. Tentang
kehidupan Beliau dalam periode ini Maulana Syaikh Bahauddin (ral), mengisahkan:
Bangun
dari tidur setidaknya tiga jam sebelum subuh aku mengerjakan rangkaian shalat
sunah dan setelah itu ketika dalam keadaan sujud aku memohon kepada Allah Yang
Maha Kuasa untuk memberiku kekuatan untuk memikul Cinta Ilahiah Nya. Kemudian
aku shalat subuh bersama Syaikh ku. Kelihatannya Syaikh mengetahui apa yang
kuminta dalam sujudku, karena Beliau mengatakan kepadaku: Kamu harus mengubah
apa yang kau minta dalam sujudmu, karena Allah Yang Maha Kuasa tidak suka
hambaNya meminta kesukaran. Memang Dia memberi beberapa kesulitan kepada
mahlukNya untuk menguji mereka. Hal ini berbeda. Seorang hamba tidaklah boleh
meminta untuk diberi kesulitan-kesulitan karena hal ini tidak menunjukkan
penghormatan kepada Allah. Karena itu ubahlah permohonan dalam sujudmu dengan
berdoa “untuk hambaMu yang lemah ini wahai Tuhanku, karuniakanlah ridhoMu”.
“Sepeninggal
Syaikh Muhammad Baba Samasi aku pergi ke Bukhara dan menikah disana. Aku
tinggal di Qasr al-Arifan dekat tempat tinggal Syaikh Sayyid Amir Kulal dalam
rangka berkhidmat kepada Beliau”. Menurut riwayat lama sebelumnya Syaikh Baba
Samasi telah mengatakan kepada Sayyid Amir Kulal untuk mengasuh Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband.
Maulana
Syaikh Bahauddin (ral) mengisahkan pengalamannya. “Suatu ketika aku sedang
melakukan khalwat bersama seorang kawan ketika tiba-tiba surga dan suatu
pemandangan yang luar biasa ditampakkan didepanku. Dalam visi itu kudengar
suara berkata “Tinggalkan semuanya dan datanglah ke Hadirat Kami sendirian”.
Aku mulai gemetar dan lari meninggalkan tempat khalwat ke suatu tempat yang ada
sungainya dan melompat ke dalam sungai itu. Aku mencuci pakaianku lalu shalat
dua rakaat dengan cara yang aku belum pernah melakukan sebelumnya karena aku
merasakan sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi. Terjadi Penyingkapan (futuh)
di hatiku dan itu merupakan pembuka atas segala sesuatu. Seluruh alam semesta
lenyap dan aku tidak sadar akan apapun selain sedang shalat dihadapan Hadirat
Ilahi”. Ada riwayat luar biasa lainnya yang dikisahkan Wali Agung Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral). Beliau bercerita “Pada tahap awal dari
keadaan kertertarikanku aku ditanya mengapa aku menempuh jalan ini. Kujawab
supaya aku mendapat kekuatan sehingga apapun yang kukatakan dan kuinginkan akan
terwujud. Dijawab bahwa tidak bisa seperti itu, karena sesungguhnya apa yang
Kami sabdakan dan yang Kami kehendaki adalah yang akan terjadi. Kujawab lagi
bahwa aku tidak setuju dengan hal itu. Aku harus mampu berkata dan berbuat
apapun yang kuinginkan, jika hal ini tidak bisa kudapat maka kenapa aku harus
menempuh jalan ini? Lalu kuterima jawaban: tidak, sesungguhnya apapun yang Kami
kehendaki Kami sabdakan dan apapun yang Kami kehendaki akan terwujud. Kujawab
lagi apapun yang kukatakan dan kulakukan adalah jalan yang kutempuh. Setelah
itu aku ditinggalkan sendirian.
Selama
lima belas hari aku sendirian. Hal ini membuatku tenggelam dalam depresi yang
mendalam. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara “Wahai Bahauddin seperti yang kau
inginkan maka Kami mengaruniaimu apapun yang kau inginkan”. Aku memohon agar
diberi jalan yang bisa langsung menuju Hadirat Ilahi. Lalu aku mengalami visi
yang luar biasa dan mendengar suara yang mengatakan bahwa aku telah dikarunia
apa yang kuminta”.
Kisah
ini luar biasa karena biasanya orang patuh pada Perintah Ilahi dan tidak
meminta pemenuhan keinginan mereka sendiri. Biasanya tindakan menolak untuk
mematuhi Perintah Ilahi dan memaksa untuk mendapatkan apa yang diingini akan
dianggap tidak adab. Walaupun pada awalnya ditolak, permohonan Maulana Syaikh Bahauddin
(ral) akhirnya dikabulkan. Permohonannya dikabulkan mungkin karena Beliau
memohon untuk kemaslahatan orang banyak dan bukan untuk kepentingan diri
sendiri.
Ada
kisah lain yang tak kalah menariknya kala Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband
(ral) diuji oleh Syaikh nya. Ini sungguh ujian yang berat. Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband (ral) menuturkan kejadian ini. “Suatu ketika aku berada
dalam tarikan Ilahiah yang begitu kuat sehingga aku tidak sadar akan diriku dan
berjalan tanpa menyadari apa yang kulakukan. Ketika malam tiba kulihat kedua
kakiku berdarah akibat luka sobek dan tertusuk duri. Lalu kurasakan bahwa aku
harus pergi ke rumah Syaikh ku, Sayyid Amir Kulal. Malam itu terasa sangat
dingin dan gelap tanpa ada bulan dan bintang sama sekali. Untuk melawan
dinginnya malam aku hanya mengenakan jubah tua terbuat dari kulit. Ketika
sampai di rumah Syaikh ku, kulihat Beliau sedang bersama teman-teman dan para
pengikut Beliau. Ketika Syaikh melihatku Beliau memerintahkan pengikutnya untuk
mengusirku keluar dari rumah. Syaikh ku tidak suka aku berada di dalam
rumahnya. Pengikut Syaikh mendatangiku dan membawaku keluar dari rumah. Aku
tidak terima diperlakukan seperti ini.
Terasa
egoku akan mengalahkanku dan mengambil alih kendali perasaanku dengan mencoba
meracuniku dengan menggoyah keyakinanku yang tulus pada Syaikh ku. Bagaimana
aku bisa menanggung malu dan rasa terhina seperti ini? Lalu Rahmat Ilahi datang
kepadaku sehingga aku mampu menanggung ini semata-mata hanya demi Allah dan
demi Syaikh ku. Dengan tegas kukatakan pada egoku bahwa aku tidak akan
membiarkan egoku membuatku kehilangan cinta dan keyakinanku pada Syaikh ku.
Lalu
kurasakan depresi yang mendalam melandaku. Langsung kuarahkan diriku pada
keadaan kerendahan hati, meletakkan kepalaku didepan pintu masuk rumah Syaikh
dan berjanji bahwa aku tidak akan bergerak dari keadaan seperti itu sampai
Beliau menerimaku lagi. Terasa salju dan angin dingin menyusup tulang yang
membuatku menggigil dan gemetar menahan dinginnya malam yang kelam. Bahkan tak tampak
cahaya bulan dan bintang sedikitpun pun untuk membuatku sedikit nyaman dan
hangat. Tubuhku nyaris membeku. Hanya hangatnya cinta kepada Allah Yang Maha
Kuasa dan kepada Syaikh ku saja yang menghangatkanku.
Aku
menanti dengan tetap dalam keadaaan seperti itu hingga pagi hari. Lalu Syaikh
ku melangkah keluar rumah dan tanpa melihatku kakinya menginjak kepalaku.
Ketika Syaikh melihatku, dengan cepat dibawanya aku masuk ke dalam rumahnya dan
dengan telaten serta penuh perhatian Beliau mencabuti duri dari kakiku. Beliau
berkata “Wahai anakku, hari ini kau telah dihiasi dengan busana kebahagiaan dan
Cinta Ilahi. Busana yang menghiasimu ini belum pernah dikenakan oleh siapapun,
baik diriku maupun Syaikh-syaikh sebelumku. Allah dan Nabi Muhammad (sal) telah
ridho kepadamu. Demikian juga Para Auliya dalam silsilah Rantai Emas, mereka
semua telah ridho kepadamu”.
Sambil
mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh luka di kakiku, Syaikh ku
menuangkan kedalam hatiku pengetahuan yang belum pernah kualami sebelumnya.
Lalu dalam visiku kulihat diriku memasuki rahasia dari Muhammadur RasuluLlah.
Ini berarti memasuki rahasia dari ayat yang merupakan Realitas Muhammad.
Setelah itu membawaku memasuki rahasia dari la ilaha illaLlah yang merupakan
rahasia dari Keesaan Allah. Kemudian membawaku memasuki rahasia-rahasia dari
nama-nama dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa yang berada dalam rahasia dari
Keesaan Allah. Tidak mungkin kata-kata bisa menerangkan keadaan yang kualami
ini. Hal ini hanya bisa dialami dengan merasakannya melalui qalbu”.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) dididik oleh Syaikh Baba as Samasi dan Syaikh
Sayyid Amir Kulal, keduanya merupakan figur Syaikh terkemuka dari Rantai Emas
Tarekat Naqsyabandi. Beliau juga dididik langsung oleh Grand Syaikh terkemuka
lainnya dari Rantai Emas yang sama (yang hidup tidak sejaman dengan mereka).
Kejadian ini dikisahkan oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband dalam tuturan
berikut: Pada awal mula langkahku menempuh Jalan Sufi aku biasa berjalan-jalan
dimalam hari dari satu tempat ke tempat lain di desa Bukhara. Untuk belajar
dari mereka yang sudah meninggal dunia aku banyak mengunjungi kuburan di
kegelapan malam dan ini biasanya juga kulakukan di musim dingin. Suatu malam
aku pergi mengunjungi makam dari Syaikh Ahmad al Kashghari dan membaca fatihah
untuk Beliau. Di makam Beliau kutemui dua orang yang sedang menantiku. Aku
belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Mereka disertai seekor kuda. Mereka
mendudukanku diatas pelana kuda itu dan mengikatkan dua buah pedang di
pinggangku, lalu menuntun kuda ke makam dari Syaikh Mazdakhin. Kami lalu turun
dari kuda dan memasuki makam dan mesjid dari Syaikh ini dan mulai melakukan
meditasi (murakabah).
Dalam
keadaan murakabah kulihat dalam dalam visiku tembok yang menghadap Ka’bah
runtuh. Seorang laki-laki bertubuh raksasa kulihat sedang duduk diatas
singgasana yang sangat besar. Aku merasa sangat familiar dengannya, sepertinya
aku telah pernah bertemu dengannya sebelumnya. Kemanapun aku menghadapkan wajah
kulihat orang ini. Disekeliling orang ini ada Syaikh Baba Samasi and Sayyid
Amir Kulal berkumpul bersama dengan sekelompok besar orang yang hadir. Aku
merasakan rasa cinta yang mendalam kepada laki-laki bertubuh besar ini dan pada
saat bersamaan merasa takut padanya. Sosoknya memesona sekaligus menakutkanku
dan keindahannya penampilannya menimbulkan rasa cinta dan ketertarikan. Aku
bertanya pada diriku sendiri siapa sebenarnya lelaki agung dan bertubuh besar
ini. Tiba-tiba kudengar seseorang yang berada disekitar lelaki itu berkata
“Orang ini adalah Syaikh mu dan dialah yang menjagamu dalam jalur spiritualmu.
Dia mengawasi jiwamu sejak masih berupa sebuah atom di Hadirat Ilahi. Kau telah
dilatihnya selama ini. Namanya adalah Abdul Khaliq Al Gujduwani dan kumpulan
orang yang terlihat disekelilingnya adalah para Auliya yang membawa
rahasia-rahasia besarnya, rahasia-rahasia dari Rantai Emas”. Lalu Syaikh Abdul
Khalik mulai menunjuk masing-masing Syaikh yang ada disitu dan berkata “Ini
adalah Syaikh Ahmad, ini Arif ar-Riwakri, ini Syaikh Ali ar-Ramitani, ini
Syaikh mu Baba as Samasi yang memberimu jubah semasa hidupnya”. Dia bertanya
padaku “Apakah kau mengenalnya?”. Kujawab “Ya”. Lalu Beliau berkata “Jubah yang
diberikannya kepadamu masih berada dirumahmu dan dengan perkenan Syaikh mu maka
Allah Yang Maha Kuasa telah menghapus banyak kesulitan-kesulitan yang
semestinya menimpamu”.
Lalu
terdengar suara lain yang berkata ”Syaikh yang duduk diatas yang singgasana itu
akan mengajarimu sesuatu yang kau butuhkan dalam menempuh jalan sufi ini”. Aku
bertanya kepada mereka apakah aku diperbolehkan menyentuh tangan Beliau.
Setelah diijinkan aku memegang tangan Beliau. Lalu Syaikh Abdul Khaliq Al
Gujduwani mulai mengajariku tentang jalan sufi, permulaannya, pertengahan dan
akhirnya. Beliau berkata “Kau harus menyesuaikan sumbu hakikat dirimu sehingga
cahaya yang tak kasat mata akan diperkuat didalam dirimu dan rahasia-rahasianya
menampak. Kau harus menunjukkan istiqomah dan harus menjaga Syariah Suci dari
Nabi Muhammad (sal) pada apapun keadaanmu”.
Beliau
juga berkata “Kau harus meninggalkan kesenangan hidup duniawi dan menjauhi
perbuatan bid’ah dan pusatkan dirimu hanya pada sunah-sunah Nabi Muhammad
(sal). Kau harus menghayati dan menyelami peri kehidupan Nabi Muhammad (sal)
dan para sahabatnya. Kau harus mengajak orang untuk membaca dan mengikuti
tuntunan Qur’an baik siang maupun malam dan menegakkan shalat wajib serta semua
ibadah sunah. Jangan sekali-kali memandang rendah bahkan pada hal-hal kecil
dari perbuatan dan amal shalih Nabi Muhammad”.
Begitu
Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujduwani (ral) menyelesaikan ucapannya, wakil Beliau
berkata padaku ”Agar kau yakin bahwa visi yang kau lihat ini benar adanya
Beliau akan mengirimu suatu pertanda”. Dijelaskan bahwa hal-hal dan
kejadian-kejadian tertentu akan terjadi sebagaimana mustinya terjadi dan pada
saat yang telah ditentukan. Demikianlah kejadian-kejadian itu terjadi persis
sebagaimana telah dikatakan kepada Maulana Syaikh Bahauddin (ral) yang kemudian
juga berbuat persis sebagaimana Beliau diperintahkan, hal ini membuktikan
kebenaran visi yang dialami Maulana Syaikh Bahauddin (ral). Beliau juga diminta
untuk memberikan jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal (ral). “Setelah visi itu
berakhir aku pulang kerumah dan mencari jubah itu dan bertanya kepada keluargaku
dimana adanya jubah itu. Mereka mengatakan kepadaku bahwa jubah itu sudah
berada disana sejak lama, sambil membawa jubah itu dan menyerahkannya kepadaku.
Aku mulai menangis didalam hati ketika melihat jubah itu”.
Setelah
memenuhi segala hal yang dikatakan dalam visiku, sebagaimana diperintahkan aku
membawa jubah Azizan ke Syaikh Sayyid Amir Kulal (ral) dan memberikan padanya.
Setelah terdiam beberapa saat Syaikh Amir Kulal berkata padaku “Aku diberitahu
tentang jubah Azizan ini semalam yaitu bahwa kamu akan membawa dan
menyerahkannya padaku. Aku diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapis
selubung yang berbeda“. Beliau lalu memintaku masuk ke dalam kamarnya dan
mengajarkan serta menempatkan didalam hatiku zikir tanpa bersuara. Aku diminta
untuk terus menerus berzikir seperti itu siang dan malam. Aku terus mengamalkan
zikir ini yang merupakan bentuk tertinggi dari zikir.
Aku
juga berguru kepada ulama-ulama lain untuk belajar Syariah dan sunah-sunah Nabi
Muhammad (sal) dan juga mengkaji sifat-sifat Nabi Muhammad (sal) dan para
sahabatnya. Sejak aku melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dalam visiku,
hidupku mengalami perubahan besar. Semua yang diajarkan oleh Syaikh Abdul
Khaliq Al Gujduwani (ral) dalam visi itu bermanfaat bagiku dan membuahkan
hasil. Ruh Beliau selalu menyertaiku dan mendidikku. Syaikh Abdul Khaliq Al
Gujduwani (ral) adalah salah satu dari beberapa Guru/Syaikh dari Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband (ral) walaupun Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral)
hidup dimasa sebelum jaman Maulana Syaikh Naqsyaband (ral). Hubungan ini dalam
dunia sufi dikenal sebagai Hubungan Uwaisy, yang berarti bimbingan dan hubungan
spiritual terjadi walaupun masing-masing berasal dari jaman yang berbeda.
Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) juga merupakan salah satu Syaikh dari
Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengikuti dan belajar pada Mawlana Arif
ad-Din Karani selama tujuh tahun. Setelah itu Beliau mengikuti Maulana Kuthum
Syaikh selama beberapa tahun. Beliau juga menyertai seorang darwis bernama
Khalil Ghirani yang tentangnya Beliau berkata “Selama menyertai Syaikh Khalil
Ghirani banyak pengetahuan baru yang selama ini tersembunyi mulai tersingkap di
hatiku dan Beliau selalu menjagaku, memujiku dan mengangkat derajatku”. Ada
Kekasih Allah lainnya yang disebut oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband
(ral) “Beliau memerintahkanku untuk menolong dan melayani orang miskin dan
menolong mereka yang sedang hancur hatinya. Beliau memintaku untuk rendah hati
dan bersikap toleran. Beliau juga mengatakan padaku untuk menyayangi
hewan-hewan dan menyembuhkan sakit dan luka mereka dan memberi mereka makanan”.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqshband (ral) mengisahkan tentang kejadian lain yang masih
berhubungan dengan jubah Azizan. “Suatu hari aku sedang berada di kebunku dan
dikelilingi oleh murid-muridku. Aku mengenakan jubah Azizan. Tiba-tiba aku
diliputi oleh rahmat dan tarikan surgawi dan kurasakan diriku dihiasi dengan
busana sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Kurasakan diriku mulai gemetar
sedemikian rupa yang tak pernah kualami sebelumnya sehingga aku tak mampu lagi
berdiri. Lalu tampak olehku visi yang luar biasa dimana keberadaanku sama
sekali lenyap (fana) dan aku tidak melihat apapun kecuali Wujud Tuhanku.
Lalu
kulihat diriku keluar dari Hadirat Ilahiah-Nya yang tampak terpantul dari
cermin Muhammadur RasuluLlah yang berbentuk sebuah bintang dalam samudra cahaya
tanpa batas. Wujud luarku lenyap dan kusaksikan makna sesungguhnya dari la
ilaha illaLlah Muhammadur Rasulullah. Kemudian kusaksikan makna sejati dari
nama-nama Allah yang kemudian membawaku kepada Yang Maha Ghaib yang merupakan
esensi dari nama Allah ‘Huwa” (Dia). Begitu aku memasuki samudra ini jantungku
berhenti berdetak dan hidupku berakhir. Aku berada dalam keadaan mati. Semua
orang yang berada disekelilingku mulai menangis karena mengira aku sudah
meninggal dunia. Akan tetapi setelah kitra-kira enam jam aku diperintahkan
untuk kembali ke ragaku. Aku bisa menyaksikan ruhku kembali memasuki ragaku perlahan-lahan
dan visi itu berakhir”.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengatakan kalau Beliau menerima
rahasia-rahasia spiritual dari berbagai pihak dan khususnya dari Uways
al-Qarani (ral) yang memberi pengaruh besar dalam hal meninggalkan keduniawian
dan melekatkan diri Beliau kepada hal-hal spiritual (ukhrowi). Beliau berkata
“Aku melakukan ini dengan menjaga sunnah dan perintah-perintah Nabi Muhammad
(sal) sampai aku mulai menyebarkan hikmah dan dikarunia rahasia-rahasia Ilahiah
dari yang Maha Esa yang tidak pernah diberikan pada seorangpun sebelumku”
Ada
kisah menarik lainnya yang dituturkan oleh Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral) mengenai kekuatan spiritual Beliau. Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral) berkata: Suatu hari aku pergi ke gurun bersama salah satu
muridku yang tulus yang bernama Muhammad Zahid. Kami mulai menggali tanah
dengan menggunakan sebuah beliung (alat untuk menggali) dan pada saat bersamaan
juga sambil membicarakan secara mendalam tingkatan-tingkatan pengetahuan.
Sambil terus mengayun beliung pembicaraan kami terus berlangsung dan semakin
mendalam. Lalu tiba-tiba muridku bertanya “Sampai batas apakah pencapaian
ibadah?”. Kujawab ”Peribadatan mencapai suatu tingkatan dimana kau mampu
menunjuk pada seseorang dan berkata “Matilah” dan lalu orang itupun mati”.
Ketika aku sedang mengatakan itu tanpa sadar sambil telunjukku menunjuk pada
Muhammad Zahid. Ketika kukatakan kata “Mati” terjadilah hal yang mengerikanku
yaitu muridku jatuh dan meninggal dunia. Waktu terus berlalu dari pagi sampai
tengah hari dan muridku masih dalam keadaan mati. Pada saat tengah hari terasa
sangat panas dan jenasah muridku mulai semakin memburuk karena panas yang
sangat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan merasa takut serta
kebingungan. Yang bisa kulakukan adalah membawa jenasahnya ketempat teduh
dibawah pohon. Aku lalu duduk mulai berfikir dan merenung akan apa yang harus
kulakukan dalam situasi ini. Tiba-tiba muncul Ilham dalam pikiranku dan aku
berkata sambil menunjuk pada jenasah muridku “Wahai Muhammad Hiduplah!” tiga
kali. Timbul rasa legaku ketika perlahan-lahan nyawanya kembali ke tubuhnya dan
secara bertahap muridku kembali ke kesadarannya. Dengan bergegas aku menemui
Syaikh ku dan menceritakan kejadian itu. Syaikh ku kemudian berkata “Wahai
anakku, Allah Yang Maha Kuasa telah memberimu suatu rahasia yang tak pernah
diberikannya kepada siapapun”.
Dihari-hari
akhir masa hidupnya Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lebih sering
mengurung diri di kamarnya. Banyak orang yang datang mengunjungi Beliau.
Semakin banyak orang yang berkunjung ketika sakit Beliau semakin parah. Saat
ajal Beliau makin dekat, Beliau memerintahkan agar dibacakan Surah Yaasin.
Selesai dibacakan Surah Yaasin Beliau mengangkat tangan sambil membaca Dua
Kalimah Syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad (sal) adalah Utusan Allah. Dengan Syahadat ruh suci Beliau kembali
kepada Allah. Ketika itu tanggal 3 Rabiul Awwal, 791 H/1388 M, pada hari Senin
malam. Sesuai permintaannya Beliau dimakamkan di taman miliknya. Mengenai
kejadian ini seorang Wali Agung masa itu Abdul Wahab asy-Syarani berkata:
Ketika Syaikh dimakamkan di makamnya terbukalah untuk Beliau sebuah jendela ke
surga, sehingga makamnya menjadi sebuah taman surga. Dua mahluk spiritual
berpenampilan memesona datang dan memberi salam kepada Beliau sambil berkata
“Kami telah menanti sekian lama untuk melayani Anda sejak Allah menciptakan
kami dan sekarang waktunya telah tiba bagi kami untuk melayani Anda”, terhadap
ucapan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menjawab “Aku tidak butuh
apapun selain Dia. Aku tidak butuh kamu, aku butuh Dia”. Dengan cara seperti
itu Beliau mangkat.
Itulah
kisah kebesaran dari Pir atau Tiang dari Tarekat Naqsyabandi yang mulia.
Tarekat ini sebelum jaman Beliau dikenal sebagai Tarekat Siddiqiyah. Setelah
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral), tarekat ini dikenal sebagai Tarekat
Naqsyabandiyah. Semoga Allah merahmati Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband
(ral).Amiin.
No comments:
Post a Comment