MURSYID
QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke
rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara.
Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu
menunjukkan kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai
As'ad, selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau
berkata, untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi
sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran di hadapan ribuan
jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang
kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang-
melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai As'ad memintanya untuk memberikan
sedikit tawsiyah di hadapan para hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori
pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran
secara bertajwid dan perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu
al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit
berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi
berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam muqaddimah
pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai
Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai Basori nika,
guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai
Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari ini,
beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad
terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa seseorang yang
telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu huruf, maka orang
tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di atas, mengingatkan pada statemen
Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu man 'allamani wa law harfan
wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba setiap orang yang mengajariku
meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai
Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang
telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena
belum punya kendaraan pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang
ada, maka terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk
barang. Sebuah perjuangan demi al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai
Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi, kontan saja
para penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak lain adalah seseorang
yang baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para
penumpang bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat
kiai muda itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang
itu menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000,
5.000, hingga 1.000 rupiah.
Sudah menjadi tradisi di kalangan
masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap
guru adalah memberi salam tempel berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak
besar. Bahkan, beberapa orang Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama
dengan hanya tangan kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul
adab dan tidak tahu hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan
para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali
mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang
harus dihormati, maka sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai
Basori layaknya guru yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga
mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara haul Kiai
As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah Yasin atau ayat-ayat
al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga penerusnya, sama sekali tidak
mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di
acara haul Kiai As'ad. Mengapa? Salah satu alasannya karena ayahanda beliau
telah mendaulat Kiai Basori sebagai Sang Guru Quran.
Sekali
seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu
pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis
seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul
Ilmi.
No comments:
Post a Comment