PENGERTIAN
TAREKAT
1. Pengertian secara Bahasa
1.
Tarekat (bahasa Arab: Ṭarīqah طريقة;
jamak طرق; ṭuruq) berarti “jalan” atau “metode”,
dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara
konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau “kebenaran sejati”, yaitu
cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang
penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktek eksoteris atau duniawi
Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang
berbentuk ṭarīqah. Melalui praktek spiritual dan bimbingan seorang
pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah
(hakikat, atau kebenaran hakiki).
2.
Kata
tarekat berasal dari bahasa
Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang
berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system
(al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5)
tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
3.
Menurut
Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode
khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala
melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua
pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada
individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat
sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang
ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
2. Pengertian secara istilah
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat
itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan
(persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah
suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh
dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat
dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan
dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat
sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada
al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat
Naqsabandiyah, Tarekat Rifa’iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada
juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada
hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan
tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat
Khalawatiah Yusuf (Sulawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya
saja.
Istilah
Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan
kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al-Amal”, sehingga
Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang
berturut-turut disebutkan:
1)
Tarekat
adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan
menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang
tidak boleh dipermudah.
2)
Tarekat
adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan
kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak
(batin).
3)
Tarekat
adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang
sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang
disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang
Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut
L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di
beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai
dua macam pengertian.
- Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat” dan “Al-Ahwaal”.
- Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Secara
terminologi, pemaknaan tarekat agak sulit dirumuskan dengan pas, karena
pengertian tarekat ikut berkembang mengikuti perjalanan kesejarahan dan
perluasan kawasan penyebarannya. Dari berbagai sumber klasik maupun
kontemporer, nampaknya tarekat dapat dimaknai sebagai ”suatu sistem hidup
bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi
pamahaman dan pengamalan ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatu’I-lah”.
Dalam perspektif ini, secara operasional rumusan ini bisa diartikan sebagai
usaha kolektif dalam upaya tazkiyah an nafs dalam rangka interiorisasi
keberagamaan.
Tarekat
itu artinya jalan petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran
yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan
tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai
berantai.
Menurut
Mircea Aliade, kata thariqah digunakan dalam dunia tasawuf sebagai jalan yang
harus di tempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atau metode
psikologis-moral dalam membimbing seseorang untuk mengenali Tuhannya.
Pengertian
tarekat menurut Prof.Dr.H.Abubakar Aceh ialah : “jalan ,petunjuk dalam
melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh Sahabat, tabi’in , dan
tabi’it tabi’in turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan
rantai berantai”.
Dari
Abu Al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani mengatakan : “kata Tariqat pada para
sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah probadi sufi yang bergabung dengan
seorang guru( Syekh) dan tunduk dibawah aturan-aturan terperinci dengan jalan
rohaniyah ,yang hidup secara kolektif secara zawiyah, ribath dan khanaqah, atau
berkumpul secara periodic dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai
pertemuan ilmiah maupun rohaniyah yang teratur”.
Sedangkan
J. S. Trimingham menyatakan bahwa tarekat adalah ”a practical method (other
terms were madhhab, ri’ayah and suluk) to guide a seeker by tracing a way of
thought, feeling and action, leading a succession of stages (maqamat, an
integral association with psycological experiance called ’states’ ahwal) to
experianceof Divine Reality (haqiqa) ”, metode praktis (bentuk-bentuk lainnya,
mazhab, ri’ayah, dan suluk) untuk membimbing murid dengan menggunakan pikiran,
perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan (maqamat, kesatuan yang utuh
dari pengalaman jiwa yang disebut ’states’, ahwal) secara beruntun untuk
merasakan hakikat Tuhan”.
Tarekat
berakar dari pengalaman seorang sufi –ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya
kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh
karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tarekat terkait erat dengan nama
guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penamaan satu tarekat diambil dari
nama pimpinan kelompok belajar itu. Misalnya tarekat Naqsyabandiyah dinamai
demikian adalah karena kelompok pembelajaran tasawuf itu dirintis oleh
Bahauddin al- Naqsyaband. Hal ini berarti, nampaknya tarekat mirip dengan
aliran tasawuf –the sufi orders-, atau semacam pranata sosial keagamaan yang
visi dan misinya sufism. Dengan demikian tarekat yang pada awalnya dimaknai
sebagai metode mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi sistem
pembelajaran tasawuf yang melembaga.
Dalam
tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau pembimbing dan
biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih, yang disebut ”khalifah” atau
wakil, pengikutnya dinamai ”murid” atau yang berminat. Tempat untuk belajar dan
pondokan –semacam asrama- disebut ribath atau zawiyah dan juga dinamai taqiyah
yang dalam bahasa persia disebut khanaqoh.
TUJUAN
DAN DASAR UTAMA TAREKAT
Tujuan
utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi, termasuk Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar
bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan
ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan semacam ini, biasanya seorang
anggota atau salik (penempuh dan pencari hakikat ketuhanan) akan diarahkan oleh
tradisi-tradisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat bersangkutan sebagai upaya
pengembangan untuk bisa menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau makrifat
kepada Allah ’Azza wa Jalla. Setiap tarekat memilki perbedaan dalam menentukan
metode dan prinsip-prinsip pembinaanya. Meski demikian, tujuan utama setiap
tarekat akan tetap sama, yakni mengharapkan Hakikat Yang Mutlak, Allah ’Azza wa
Jalla. Secara umum, tujuan utama setiap tarekat adalah penekanan pada
kehidupan akhirat, yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia
beragama. Sehingga, setiap aktifitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan,
apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan.
Karena
itu, Muhammad ’Amin al-Kurdi, salah seorang tokoh Tarekat Naqsyabandi,
menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh
kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal ada tiga
tujuan bagi seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadah. Pertama,
supaya ”terbuka” terhadap sesuatu yang diimaninya, yakni Zat Allah AWT, baik
mengenai sifat-sifat, keagungan maupun kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat
mendekatkan diri kepada-Nya secara dekat lagi, serta untuk mencapai hakikat dan
kesempurnaan kenabian dan para sahabatnya. Kedua, untuk membersihkan
jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian menghiasinya dengan akhlak
yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai (Allah) dengan berpegangan pada para
pendahulu (shalihin) yang telah memiliki sifat-sifat itu. Ketiga, untuk
menyempurnakan amal-amal syariat, yakni memudahkan beramal salih dan berbuat
kebajikan tanpa menemukan kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakannya.
Langkah
utama dan pertama bagi seseorang yang akan memasuki dunia tarekat adalah
kesiapan untuk menaati aturan-aturan syariat Islam. Karena seluruh aktifitas
kehidupan anggota tarekat akan selalu bersandar pada hukum-hukum syariat,
terutam yang terpilih dan memiliki keunggulan, dan mereka lebih senang
menghindari hukum-hukum Islam yang ringan dan mudah. Karena itu, mencium ambang
pintu syariat, kata Abu al- Majdud as-Sana’i, merupakan kewajiban pertama bagi seseorang
yang akan menempuh perjalanan ”mistik”ini. Di samping itu, dasar-dasar akidah
yang benar juga merupakan pondasi utama bagi berlangsungnya perjalanan seorang
murid dalam tarekat, yakni akidah para salaf salih, para sahabat, tabi’in, para
wali serta para shiddiqin yang selalu berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi
SAW. Kedua dasar itu (akidah dan syariat) sangat diperlukan bagi seorang salik
(pencari hakikat ketuhanan), mengingat perjalanan yang akan mereka tempuh
sangat sulit dan mendaki, terutama untuk sampai pada maqam-maqam yang mereka
tuju. Tanpa memilliki aqidah yang kuat, menguasai dan menjalani kehidupan
syariat, maka pencapaian kehidupan tarekat mereka mustahil bisa dilakukan
dengan benar, karena sesungguhnya dalam tarekat terjalin hal-hal yang
diterangkan oleh syariat. Sebaliknya, kehidupan syariat nampak tidak akan
seimbang bila tidak diiringi dengan nilai-nilai yang ada dalam tarekat atau
dunia tasawuf secara umum. Peranan tarekat atau tasawuf sebagai dimensi batin
syariat telah diakui oleh para pendiri aliran hukum, yang menenkankan
pentingnya aspek ini dalam pendalaman etika Islam.
Di
sinilah tarekat memberikan keseimbangan dalam mengiringi jalannya syariat
Islam, sebagai penghalus untuk meresapkan nilai-nilai hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah sehingga bisa mencapaiai hakikatnya.
Sebagian besar ulama salaf dalam masyarakat isalm telah mampu menjaga
keseimbangan ini, yakni menjaga jangan sampai syariat terpisah dari tarekat dan
tarekat terasing dari syariat. Vitalitas keagamaan dan spiritual Islam tumbuh
dari kedua dimensi ini (syariat dan tarekat) selama berabadabad, yang secara
bersama-sama telah membentuk tradisi keagamaan yang integraldalam masyarakat
religius. Menurut simbolisme sufi yang cukup terkenal, Islam diumpamakan dengan
buah ”kenari” yang kulitnya diibaratkan syariat, sedangkan isinya adalah
tarekat, dan minyaknya yang ada dimana-mana adalah hakikat. Kenari tanpa kulit
tidak akan tumbuh di alam, begitu pula bila tanpa isi, ia tidak akan mempunyai
arti apa-apa. Syariat tanpa tarekat seperti tubuh tanpa jiwa, dan tarekat tanpa
syariat pasti tidak akan mempunyai bentuk lahiriah serta tidak akan mampu
bertahan dan mewujudkan dirinya di dunia ini. Bagi keseluruhan tradisi,
keduanya mutlak diperlukan. Di sinilah secara universal rekat telah menunjukkan
tujuannya sebagai penyempuna dalam memberikan keseimbangan bagi setiap hamba
untuk menjalankan ajaran islam dan mengantarkan mereka menuju pintu hakikatnya.
Melalui latihan-latihan mental dan spiritual (riyadhah)- nya, tarekat telah
menunjuk kan metode praktisnya dalam memberikan nilai-nilai keseimbangan tadi.
No comments:
Post a Comment