SUNAN GIRI
Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan
diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk
dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada
sebagian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah,
demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh
sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun
untuk mengobati tapi sang putri belum juga sembuh.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan
sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan.
Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk
sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi
macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu
kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan
diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan
diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok
negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada
seorang pun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak
Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk
mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa
prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para
pertapa biasanya tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah
Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan
Resi Kandabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang.
Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan
Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi
negosiasi bahwa Raja dan rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka
Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di
bidang ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk
juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk
menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa
sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror pada pengikut Syekh Maulana
Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak
diculik, disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu
dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana
Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil
tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi
pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus
menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi
meninggalkan Blambangan.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati
berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh
Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya
sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos
masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja
Patih kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak menemukan Syekh
Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu
lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan
permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok
dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara.
Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama
empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada
saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara
bikin ulah lagi.
“Bayi itu! Benar gusti Prabu! Cepat atau
lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun
menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas
yang memancar dari jiwa bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang
dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan,
dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang
Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya
sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia
memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih
berusia empat puluh hari akhirnya dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan
untuk dibuang ke samodra.
Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk
memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu
karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti
berukir indah. Seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan
barang berharga. Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti
itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil
yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan
jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke
tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal
untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju.
Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan
cepatnya.
Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya
pemilik kapal Nakhoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang
menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan
pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng
Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di
tengah samodra, Selat Bali, jawab Nakhoda kapal.
Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai
Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia
menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka
Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih
mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di
Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi
ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan
agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi
dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat
hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid
muridnya dan mendoakan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum
berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di
asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar
terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau
tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid
yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan
Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapa di antara kalian yang waktu bangun
tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…”
acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko
Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan.
Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra,
kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang
asal-usul Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya.
Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang
digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah
Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak
sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada
Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai
Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali
besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang
Pangeran Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu
dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang
sambil meluaskan pengalaman.
“Di negeri Pasai banyak orang pandai dari
berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul
Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak.
Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya
dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan
berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan
Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut
gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung
Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya
sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat
oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian
menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa
harus meninggalkan istri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar
kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya
yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui
lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari
negara asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk
setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum
Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana
Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku
dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga
kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid
mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang
banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan
menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara
benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas
dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun di Pasai, dan masa belajar
itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu
diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah
bungkusan kain putih berisi tanah. “Kelak, bila tiba masanya dirikanlah
Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan
ini disitulah kau membangun Pesantren”, demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke
Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel
memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku
diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan
pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual
habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari
Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda.
Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku
membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk
setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera
memprotes tindakan Raden Paku. “Raden …kita pasti akan mendapat murka Nyai
Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?”
“Jangan kawatir paman”, kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan
dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari
mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?
Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk
membersihkan diri”.
“Itu diluar kewenangan saya Raden”, kata Abu
Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu
supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat.
Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal
atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang
dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau”, kata Raden Paku
dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan
batu dan pasir”. Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik
dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu
berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng
Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap
tidak normal itu. “Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan
banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung
kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka karung-karung
itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang
dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain, dan
emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang
dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat
Raden Paku, dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan
sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia
akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung
menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu
seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik. Karena
hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat
baiknya itu”, demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi…bukankah saya hendak menikah dengan
putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”, ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”,
kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah
selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku.
Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi
menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang
makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat
berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan
agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan
Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak
memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan
mendirikan pondok pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan
dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan.
Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan
menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh
kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku
yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang
sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada
Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa
Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada
pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling
untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri
Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku
di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun
mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok
sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena
tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren
Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga
dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga
tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam
tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga
namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang
dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri
kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi
orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas
gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat dibicarakan
adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari
segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate.
Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan
Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa
(Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama
Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya.
Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah
dan pembentukkan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau
juga membangun asrama yang luas.
Di sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu
jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan
adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur
atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri,
karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam,
demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian
Masjid Demak itu dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan
dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka
Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at
sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at.
Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian
mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah
bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar
manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang
ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu
di hadapan sidang para Wali. Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia
maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media
dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah
dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda
khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh
Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan
Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid
Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian
diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan
Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan
Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham
Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya.
Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan
dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam
secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam
berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa
dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama.
Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar,
karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau
pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam
antara lain: Jamuran, Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara permainan anak-anak yang dicintainya
ialah sebagai berikut: Di antara anak-anak yang bermain ada yang menjadi
pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari
kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah
ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan
tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid
maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai
pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut
jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
(Malam terang bulan, marilah lekas bermain,
bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya
rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah
adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah
memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung
selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau
digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
Pangeran Singosari ini berjuang gigih
mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan
kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan
yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah
menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena
tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan
membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu
ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang
yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham
Manunggaling Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang
ditentang Walisongo.
Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun
1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan
peninggalan Sunan Giri, yang dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian
kharismanya sebagai ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu
bisa Anda buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang tiap hari
membanjiri makamnya.
No comments:
Post a Comment