SYAIKH NAHROWI DALHAR
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Kiai
Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum
lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini
adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu
wali yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya
adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan
menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar
, Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan
ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah
Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan
umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini
dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Mbah Dalhar
dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M)
di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga
santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai
salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo
sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya
sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan
Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada
usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah
Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo,
Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid
selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian
tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur
15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini.
Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas
dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Jalan Kaki dan
Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya berangkat
ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas,
Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama
perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai di
Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada
sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar
naik kuda bersama. Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai
Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri
tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah.
Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya
dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan
Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan
dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada
mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana
nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan
untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas
kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur
namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai
Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh
Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin
Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah
rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar
adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika
menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat –
sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as.
Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan
dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau
masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak
dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar
pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit
tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya
memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya.
Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk
mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab
selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air
besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari
keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala
thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr.
Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat
mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah
As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai
Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar,
Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul
Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah
mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya
– karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama
terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun
1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH
Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang
lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 –
Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan
jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah
hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi
Mbah Kyai Dalhar
PART II
Mbah
Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas
atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo
juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang
mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru
diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa
tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah
seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu
senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan
kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf
tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari
penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu
perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad
dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan
waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan
serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian
tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu
membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren
Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya
juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim
dan rihlahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu
Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar
mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan
masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai
Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama
di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas
dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera
laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah
menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai
Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di
Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai
Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil
menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah
sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama
Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Allahu Akbar.
Ketika
berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah
dan amaliahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah
buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk
qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini,
mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar.
Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat
kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai
seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara
karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
*
Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300
meter walau tidak menggunakan pengeras suara
*
Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli,
santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat
tinggal
*
Dll
Karya
– karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Murid
– muridnya
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada
beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,
Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah
mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari
Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan
tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai
Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
No comments:
Post a Comment