SUNAN BONANG
Brahmana dari India
Agama Islam yang menyebar luas di Tanah Jawa
cukup menggemparkan masyarakat dari belahan dunia lain. Termasuk para pendeta
Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa
penasaran. Maka bersama beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa.
Dibawanya pula kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan
berdebat dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
“Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang
Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari
berdiri di atas geladak di buritan kapal layar. “Jika dia kalah maka akan
kutebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk
mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya, yang selalu berdiri dan
mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah
samudera. Namun ketika kapal layar yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban,
mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala
penjuru seolah berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga
menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya Brahmana Sakyakirti
mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu dua kali
hal itu dapat dilakukannya namun terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal
layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut
beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang
muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya ia dan para
pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang
hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar
laut. Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah. Cara
mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu,
pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini,
setelah sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang
musnah ditelan air laut.
Tapi niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan
Bonang tak pernah surut. Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai
yang tak pernah dikenalnya. Ia agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan
Bonang. Ia menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk
jalan. Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu.
Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan
ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa
tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan
lelaki itu. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan
tongkatnya ke pasir.
“Kisanak, kami datang dari India hendak
mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu
dimana kami bisa bertemu dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan
mencari Sunan Bonang?”, tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang
masalah keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa
telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih
ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan”.
Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu
mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari
lubang bekas tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang
Brahmana.
“Itukah kitab-kitab tuan yang tenggelam ke
dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa
kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana
sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi
sudah kehausan langsung aja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana
Sakyakirti memandangnya dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan
segera mabok karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung
garam.
“Segar! Aduh segarnya!”, seru murid-murid
sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain segera berebutan untuk membasahi
tenggorokannya yang kering.
Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana
mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar
rasanya. Rasa herannya makin menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang
kemampuan lelaki berjubah putih itu dalam menciptakan lubang air memancar dan
mampu menghisap kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang
berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk
mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu
sihir, tapi kenyataan!.
Seribu Brahmana di India tak mampu melakukan
hal ini! Pikir sang Brahmana. Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap
wajah orang berjubah putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?”
tanya sang Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!”
jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
“Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku?
Bukankah sudah kau ketahui dari kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat
terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan
kepada Allah Yang Maha Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang
Sunan Bonang adanya.
“Ampun! Ampunilah saya yang buta ini, tak
melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana.
“lho?” Bukankah kau ingin berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas
Sunan Bonang. “Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang
menyerang kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur
tingginya. Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak
dan badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya Allah yang mampu menciptakan dan
menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat
kepadaNYA, dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang!”
Sang Brahmana merasa malu. Memang
kedatangannya bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang melalui adu
kepandaian dan kesaktian.
Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang
telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari terbukti. Bahwa
barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang
kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang
mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.
Ia bergidik ngeri saat teringat bagaimana
dirinya terombang-ambing diterjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang
telah memberinya pelajaran supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang.
Ia percaya, jika niatnya dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati
tapi dia sendirilah yang bakal binasa.
“Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya sebagai
murid…”, kata Brahmana itu kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang.
“Kau harus mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap
lagi. Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah
memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama
lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir”.
Sekali lagi sang Brahmana merasa malu.
Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak
walau sudah berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya
untuk berlutut dia akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya.
“Bawa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita
bahas bersama-sama”, kata Sunan Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana
Sakyakirti dan murid-muridnya segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer
lalu mengikuti langkah Sunan Bonang.
Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela
masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu
adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang
Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah
menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan
dianggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel
mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah
diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau
riadha para Wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim
adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan
sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa
Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran
agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga
belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti
ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum
Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan
Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan
Surabaya.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri
yang membunyikan alat musik itu. Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita
rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat
hebat bagi para pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan
Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak
sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan
tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum
Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum
Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa
penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan
paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim sangat
banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura.
Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab
“Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering
disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang
disebut Suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa
disebut Wirid.
Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang
yang disebut Suluk Wragul.
Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa.
Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan
penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean
hendak memakamkan jenazah beliau di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang
berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau
dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal
memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang
sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain
kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan
Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan
Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke
Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal
satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah ke
Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan
Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean
ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan
penuh hikmat.
Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang.
Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan
demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam
yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang
makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.
No comments:
Post a Comment