SUNAN KALIJAGA
Diusir Dari
Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden
Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta
seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang
beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan
kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat
keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata
maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan
meledak-ledak manakala melihat praktik oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat
menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu
sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin
sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan
ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka
untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik
pajak.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia
lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat
kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala
lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena
pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan
rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat
sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak.
Dia cukup memahami posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat
itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam
kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia
keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap,
Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk
disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang
sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu
menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun
mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden
Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki
yang seakan turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya
kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat
kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil
bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari
balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu
gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia
hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang
itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang
mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam
itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil
membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta
barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan
anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang
hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat
hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya
mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama
beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang
sudah diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar
keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian
serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban.
Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya
kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika
perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang
mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin
rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga
mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang
kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu.
Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan
melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang
gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis
yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian
seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan
pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu.
Namum pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara
kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke
tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi
menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun
jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk
dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba
membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik
topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.
Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok
itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat
pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang
diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa
diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang
selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik
pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah
mencoreng nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al
Qur’an yang sering kau baca di malam hari!”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul
atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya
selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah
segala harapan sang Adipati.
Hanya ada satu orang yang tak dapat
mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang
yakin bahwa Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin
melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu
merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana
Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau
orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar
zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya.
Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih
lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang
itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang
tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak
bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh
tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang
matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said
pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata
tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan
sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis.
Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu
kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,”
ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak
tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput
ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa
berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau
mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu
tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab
lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban
yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di
hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya
berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh
mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa
maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika
kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu
benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden
Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal
yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram,
merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing”.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan
ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang
yang baik atau halal”.
Raden Said makin tercengang mendengar
keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru
perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki
berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas
asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha
mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya
hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau
harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya
memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar
dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”.
Raden Said makin terpana, ucapan seperti
itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya
ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal.
Ambillah sesukamu!”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada
sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya.
Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak
ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah
dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar
orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon
aren itu tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir.
Ia benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan
orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas?
Selama beberapa saat Raden Said terpukau di
tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah
menjadi emas seluruhya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala
Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah
berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit
berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada
di tempat.
Ucapan orang tua itu masih terngiang di
telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci
pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya
memberantas kemiskinan.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap
kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan
orang itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan
kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun,
terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis
dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan
karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup
lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus
menyeberang.
“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat
orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya
sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau
belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat,
berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya
bersedia…”
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di
tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari
tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima
syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai.
Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air
bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin
yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan
mungkin saja golongan para wali.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan
Raden Said, pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang
dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa
kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun
silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam
samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur
tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu
datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah
setelah mengumandangkan azan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian
baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran
agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian
hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena
dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya
tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan
Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan
Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan
Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat
atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke
dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih
berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air
sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan
air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang
berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang
sendiri yaitu Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit
Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan
Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari
pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia
benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu
tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah
kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban,
melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak
jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari
jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati
Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri.
Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali.
Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan
putra-putri yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan
kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya
sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya.
Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau
sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap
sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan
raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun
tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat
tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu,
Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah. Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki
Pandhanarang. Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya. Disamping
sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang
pedagang. Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar
masuk pasar setiap pagi.
Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap
usahanya. Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing.
Kekayaannya pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya
banyak, anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar
biasa kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat
di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu
kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan
jempolan. Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun
BMW, namun pada saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena
kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput
segar untuk santapan kuda dan sapinya.
Suatu ketika di musim kemarau, para
pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan
kudanya. Nah, pada saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman
rumahnya. Umumnya pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima
ketheng. Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa
berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu
datang lagi. Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih
segar dari kemarin. Bertanya Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah
membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung
Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.
Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung
Jabalkat adalah tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar
seperti harga kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi.
“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”.
“Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa
menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia
beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba
tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta
bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan
Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong
shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua.
Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh
uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”.
Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan
menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat
derajatnya dan dihormati semua orang”.
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba
kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang
yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala
cara!”
“Pak tua! Bicaramu makin tak karuan,
apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah
segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?”
“Soal harta dan kebutuhan hidup hamba
selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas
permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh! Omonganmu semakin sombong saja pak
Tua! Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru
kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum
dengan hukuman seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya
mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan
ucapanmu!”
Dengan tenang penjual rumput itu menerima
cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah
bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki
Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia
tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman
rumahnya.
Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia
berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka segera dikejarnya kemana orang itu
pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada
si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil
menyusul lelaki penjual rumput itu.
“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah
bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan,
bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin
berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”.
“Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya
gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi
permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”.
“Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau
begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor
menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan
hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya.
Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai
bekal ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal
yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung
Jabalkat”.
“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana.
Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku
adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu
bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah
dihukum mati”.
Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta
merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan
Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.
Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia
berubah total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia
juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di
Semarang. Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat
bagus untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya
setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua
itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar
namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di
Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak
ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi
jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi
tujuan luhur cita-cita kita”.
Keduanya lalu berpakaian serba putih.
Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka
dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa
tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan
dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera
dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok.
Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok
itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai
Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia
berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.
“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada
istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah,
kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul
suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah
tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan
permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi
penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.
Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka.
Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang
dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar
hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak
membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian
ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya
karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?”
hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki
Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja
korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli
Ki Pandhanarang.
Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki
Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki
Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia
berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!”
Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah
menjadi kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus
mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi
sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu
ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh!
Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena
kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku
seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki
Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi.
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat
itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar
bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus
bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi
jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila
Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin
kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari
dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke
tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki
Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh
dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan
tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang
diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang
tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali
dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah
Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai
Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan
Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah
dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran
Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai
beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai
pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan
kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi,
karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak
membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah
tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si
majikan.
Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat
memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala
mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata
mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan
api. Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi.
Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan
Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun
berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan
Bayat yang setia.
No comments:
Post a Comment