.

Bintang-bintang Dan Pepohonanpun Berdzikir Dengan Bergoyang, Bukankah Hanya dengan Berdzikir Hati Menjadi Tenang, Anda Memasuki Kawasan Wajib Dzikrullah

Saturday 7 June 2014

TAREKAT SYATHARIYAH

TAREKAT SYATHARIYAH
Syaikh Abdullah Asy-Syattar

Tarekat Syattariyah pertama kali muncul di Hindustan (India) pada abad ke-15. Seperti tarekat lainnya, nama tarekat ini juga dinisbatkan pada tokoh yang menjadi pembawa atau pelopornya, yakni Syaikh Abdullah Asy-Syattar. Tarekat ini pernah menduduki posisi penting di dunia Islam karena pengaruhnya yang besar dan mendapatkan sambutan luas dari masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia. Meski di banyak negara Muslim ajaran yang dibawa oleh Syaikh Abdullah Asy-Syattar dikenal dengan nama Tarekat Syattariyah; di beberapa tempat, seperti Iran dan kawasan Transoksania (Asia Tengah), ia lebih dikenal dengan nama lain. Di kedua wilayah ini, ajaran Syaikh Abdullah Asy-Syattar lebih dikenal dengan nama Isyqiyah karena Syaikh Abu Yazid Al-Isyqi dianggap sebagai tokoh utamanya. Sedangkan, di wilayah Turki Utsmani (Kerajaan Ottoman), tarekat ini disebut Bistamiyah.
Dalam perkembangannya, Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari kelompok sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat yang berdiri sendiri dan memiliki karakteristik dalam hal keyakinan dan praktik. Sementara itu, mengenai sang tokoh, yakni Syaikh Abdullah Asy-Syattar, hanya sedikit riwayat yang bisa diketahui. Ia adalah keturunan Syaikh Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara (Samarkand). Di sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Syaikh Muhammad Arif.
Nisbah Asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbat), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Syaikh Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).

Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdullah Asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula, ia tinggal di Jawnpur. Kemudian, pindah ke Mondu, sebuah kota Muslim di daerah Malwa (Multan). Keputusan yang diambilnya ternyata tepat karena di sinilah akhirnya dia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah. Tidak diketahui, apakah perubahan nama dari Tarekat Isqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India atau atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya pada tahun 1428 M.
Sepeninggal Syaikh Abdullah Asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Salah seorang murid yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Syattariyah sebagai satu tarekat yang berdiri sendiri adalah Syaikh Muhammad Ghaus dari Gwalior (wafat 1526 M), keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.
Tarekat dari Negeri Hindustan
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebaran Tarekat Syattariyah ke berbagai negara Islam ditunjang oleh kemasyhuran para sufi India sehingga hal itu menimbulkan daya tarik yang besar. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-18, para sufi India banyak yang menetap di Makkah, Madinah, Irak, Iran, Turki, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Mereka berhasil menyebarkan ide-ide dan ajaran-ajaran yang mereka anut. Di antara para sufi itu adalah pengikut dan penganjur Tarekat Syattariyah. Salah seorang tokoh sufi terkemuka dari India yang mengajarkan Tarekat Syattariyah di Makkah dan Madinah adalah Syaikh Sibghatullah bin Ruhullah (wafat tahun 1606). Sementara itu, yang mempopulerkan Tarekat Syattariyah di negara-negara yang menggunakan bahasa Arab adalah Syaikh Ahmad Sinhawi (wafat 1619), murid Syaikh Sibghatullah. Salah seorang khalifahnya adalah Syaikh Ahmad Qusyasyi (1583-1661) yang berasal dari Palestina.
Adapun tokoh penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di Madinah adalah Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1689) yang berasal dari Turki. Syaikh Ibrahim Al-Kurani tampil menggantikan Syaikh Ahmad Qusyasyi sebagai pemimpin tertinggi Tarekat Syattariyah. Syaikh Ahmad Qusyasyi dan Syaikh Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Syaikh Abdul Rauf Singkel yang mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf, telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Syaikh Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syaikh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Syaikh Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syaikh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Syaikh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Syaikh Ibrahim al-Kurani, yaitu Syaikh Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini dapat ditemukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.

No comments: